Minggu, 16 Februari 2020

About Dream: Aku dan Aku yang Lain

Kota ini bagai kota mati. Langitnya terlalu kelabu. Koran dan sampah bekas makanan berserak dijalanan, diterbangkan angin. Mobil-mobil tak berpenghuni terparkir sembarangan kontras dengan gedung-gedung pencakar langit yang juga berdiri angkuh diam tak bernyawa, ada kacanya yang pecah, gelap gulita di dalam.

Sementara aku dan beberapa orang yang lainnya bersembunyi di dalam rumah tua rongsok rapuh, beberapa yang lainnya (para pria) bersembunyi di antara semak-semak tinggi dipinggir jalan.

Sebelum pergi ke arah semak-semak tinggi, seorang pria memegang tanganku, berkata padaku; "Kamu tunggu disini sebentar di rumah tua, sementara aku dan beberapa orang lainnya akan melakukan serangan dadakan ke penguasa kota. Nanti aku jemput. Aku janji. Bersabarlah."

Kota ini sudah diambil alih oleh seorang penguasa, beberapa penduduk ada yang mengorbankan nyawa.. memberontak dari tirani ini. Beberapa ada yang mati sia-sia jika tidak menurut dengan peraturan penguasa baru. Tak ada yang tau apa tujuan tersembunyi penguasa.

Aku mengintip diam-diam dari rumah. Di atas suara gemuruh memekakkan telinga terdengar. Pesawat putih penguasa telah tiba. Pintu pesawat terbuka. Deretan prajurit penguasa berhelm putih, berbaju besi putih-putih dan bersenapan berbaris sempurna turun di jalan raya sepi ini. Berjejer panjang dari jalan turunnya pesawat hingga ke arah menuju depan rumah tua ini. Seisi rumah panik dalam diam -tak boleh ada yang bersuara, harus tetap diam agar tak ketauan. Aku melirik ke arah semak, khawatir. Rencana ini tak sesuai seperti yang diharapkan. Kami kalah jumlah. Mereka bisa mati sia-sia dalam serangan. 

Tak berapa lama turunlah sosok wanita tinggi, ramping, tegap berbaju kaisar putih, berambut bob pendek putih mempesona. Tatapannya tajam melintas ke arah gedung-gedung dan rumah-rumah yang hampir roboh ini.

Dibelakangnya, asistennya mengeluarkan pengeras suara. "Barangsiapa yang menyerahkan diri dihadapan kami, akan hidup. Semuanyaaaa... harap tunjukkan diri kalian! Kalian akan hidup!!"

Suara itu menggema di kota mati. Terlalu sepi. Terlalu mencekam. Dan tak ada jawaban. Karena kami tau, pernyataan itu hanya kebohongan belaka, kami tak akan tertipu lagi. Dulu ada yang sukarela menyerahkan diri, namun berakhir dengan ditembak mati.

Naluriku pun memberontak. Aku harus memberitahu pria itu. Dia harus membatalkan rencananya, atau kita semua yang selamat di persembunyian akan mati sia-sia. Aku bergerak maju, keluar dari persembunyian, meski ada yang mencegah sambil berlinang airmata dalam diam. Aku berjalan perlahan, sembunyi-sembunyi. Sementara Ratu penguasa masih berdiskusi dengan asistennya dan para prajurit bergeming.

Selangkah lagi menuju semak-semak tempat pria itu. Tak melihat ranting panjang yang tertutup dedauanan, aku melaju pergi dan.. "Kreeeeeek!"

Aku terdiam. Prajurit terdekat dari tempatku menoleh ke arah tempat sembunyiku, bersamaan dengan pria itu yang juga menoleh ke arahku sambil membelalakkan kedua matanya. Pria itu berlari kencang ke arahku, begitu juga prajurit itu, menghentikan Ratu penguasa dan asistennya yang sedang berdiskusi dan ikut menoleh ke arah sini.

Aku menahan nafas, berdoa dalam diam. Bulir keringatku perlahan tampak. Penyesalan datang terlambat.

Beberapa menit kemudian, seperti yang sudah diduga. Aku terseret di tengah jalan kota ini. Diikuti dengan pria itu dan orang-orang lainnya yang akan melakukan penyerangan. Kami ditangkap tanpa bisa menunjukkan perlawanan. Prajurit terlalu kuat dan gesit menyergap kami. Senjata kami disita sebelum kami sempat pakai.

Lalu kami di jejerkan di tempat barisan prajurit yang tadi. Aku ditempatkan di tempat terakhir, sebelumku ada pria itu. Pria itu menatapku dengan tatapan yang tak terbaca. Mungkin dia kecewa padaku, mungkin dia khawatir, dan masih banyak kemungkinan lainnya yang tak bisa ku tebak. Dibarisan awal ada orang-orang yang akan melakukan penyergapan. Ratu penguasa menyeringai senang, ada tangkapan hari ini, yang berarti ada yang mati hari ini.

Dan benar saja... satu per satu orang-orang kami yang ditangkap, ditembak mati tanpa ditanya apapun, tanpa diberikan penjelasan apapun, tanpa dikasih waktu untuk membela diri.

Doorrr.. doorrrr.. doorrrr...

Bunyi tembakan menggema dingin. Satu per satu roboh. Mayat bergelimang. Jalan bersimbah darah. Aku merasa bersalah. Semua penyebab kejadian ini adalah karenaku. Aku yang bodoh. Aku yang terlalu gegabah mengambil langkah.

Kini tiba giliran pria itu. Prajurit juru tembak sudah di depan pria itu, diikuti oleh langkah Ratu penguasa.
"Well.. well... ternyata kamu sang pemimpin. Akhirnya hari ini kamu menunjukkan keberadaanmu" Dia menyeringai ke arah pria itu.

"Tembak mati saya, jangan dia! Biarkan dia hidup!" pria itu berkata sambil menunjukku dengan dagunya. Sikap seorang pahlawan. Sikap seorang pemimpin. Aku bersikeras mengingat siapa pria ini.. saat di rumah tua, saat menuju semak-semak, saat tertangkap, sampai saat ini.. Aku terus mengingat-ingat siapa dia.. Siapa pria ini? Apa hubungannya denganku? Tapi tak ada hasil. Aku masih tak mengingat siapa dia.. yang teringat hanyalah dari pesan terakhirnya di rumah tua tadi. 

Aku ingin menyelamatkannya tadi sebelum penyergapan. Sebuah perasaan yang muncul secara tiba-tiba dan sulit diutarakan.. rasa yang membuatku juga bingung.

"Well.. well.. bukan begitu caranya" Ratu penguasa tersenyum sambil menggelengkan kepalanya dan menaruh jari telunjuk kanannya yang ramping ke bibir pria itu.

Sepersekian detik, pria itu menatapku, ia ingin berkata sesuatu ke padaku, namun perintah sang Ratu penguasa sudah lebih dulu dilaksanakan.

Doorrrrr...

Sekali lagi bunyi senapan menggema. Jejak mesiu tertinggal di udara hampa di depan tempat pria itu berdiri kokoh. Kini ia jatuh ke belakang, tak bernyawa. Ada lingkaran peluru di tengah dahinya. Darah memerah kembali membanjiri jalan.

Aku semakin gugup. Tanganku makin berkeringat. Aku sesak nafas. Tubuhku kaku.

"Nah, mari sekarang dengar kalimat darimu.. dimana tempat sisa orang-orang yang masih bersembunyi?" Sang Ratu membuka suara. Menatapku tajam tanpa senyuman. Aku membatu. Tak boleh menjawab. Aku tak boleh memberitahunya. Tak boleh. 

"Hm?" Sang Ratu tak sabar menunggu, tatapan tajamnya sudah memotong jantungku lebih dulu, nyaliku semakin ciut. 

Prajurit bertopeng didepanku sudah meletakkan ujung senapan dingin di dahiku. Sebentar lagi, aku akan mati..

Saat mencoba fokus akan kematianku, aku mendengar jerit-jerit suara dikejauhan. Dan entah suara dari mana, suara bom berdentum. Memekakkan telinga. Telingaku berdenging kencang. Lalu bayang sosok perempuan yang tadi mencegahku sudah di cengkram kuat oleh prajurit. Sisa dari kami di rumah tua sudah digelandang ke arah jalan raya. Prajurit telah menemukan mereka sebelum aku menjawab pertanyaan sang Ratu. Jadi... inilah kekuatan sesungguhnya dari Prajurit. 

Saat aku membelalak terkejut dan ingin buka suara membela mereka, Sang Ratu menghela nafas sambil menggeleng perlahan, dan prajurit menembakkan peluru ke dalam dahiku, masuk ke dalam tengkorakku. Sakit. Amat sangat sakit. Perih tak tertahan. Aku limbung dan jatuh kebelakang. Jadi, begini rasanya mati..

Kami semua mati sia-sia.

#

Aku terkejut. Tersadar membuka mata perlahan sambil menghirup nafas panjang. Terengah-engah menatap ruang kotak putih semua. Degup jantungku berirama tak keruan.

Aku berada di tempat tidur tinggi putih. Kepalaku berdenyut-denyut sakit. Nafasku masih tak teratur. Aku mencoba duduk, menyeimbangkan tubuh. Mencoba mengumpulkan sisa-sisa ingatan terakhir tentang kematianku.

Saat sudah cukup kuat, aku berdiri. Memencet tombol merah "open" di sebelah pintu. Pintu terbuka dan aku keluar dari kamar putih itu. Kemilau cahaya putih memenuhi lorong ini. Aku berjalan sambil meraba-raba dinding lorong sambil menyipitkan mata. Sepi, hanya terdiri dari banyaknya pintu-pintu kelabu.

Berjalan sempoyongan, aku turun dari eskalator gedung ini. Masih sepi tak berpenghuni. Saat tiba dibawah, pintu utama otomatis terbuka.

Aku sudah berada diluar. Aku menghirup udara segar banyak-banyak untuk memulihkan tenagaku. Aku menatap ke sekeliling. Kota yang penuh warna dan rapi. Tak ada koran dan sampah sisa makanan berserak. Tak ada mobil kosong yang memenuhi jalan.

Langit biru, cahaya matahari hangat, pepohonan di jalan tumbuh subur berwarna hijau, dilengkapi dengan warna-warni bunga yang berjajar rapi di sisi jalan. Bangku kosong taman terawat berada disana, tempatku dulu duduk-duduk santai menghabiskan waktu istirahat dikala senja. 

Ahh, kota ini... kota ini sama seperti kota tempatku tinggal sebelum kota mati datang. Aku dikotaku ternyata.. Tapi, apa yang terjadi sebenarnya? Apakah benar ini kotaku? Aku tak jadi mati?

Denyut kepalaku terhenti seiring dengan berbagai pertanyaan muncul. Saat tubuhku kuat, aku pun menelusuri jalan raya ini.

Langkahku terhenti di depan sebuah gedung dengan kaca tinggi, aku melihat diriku. Aku yang memakai baju tidur lengan panjang bersaku dua warna putih, celana tidur longgar berwarna putih, sepatu lari tanpa tali berwarna putih.

Saat aku mendekat ke arah cerminan kaca gedung itu, aku menyentuh wajahku yang tak berubah, rambutku yang juga masih sepanjang bahu lebih sedikit yang tergerai. 

Lalu, pandangan beralih ke pantulan diriku..

Ternyata ada diriku yang lain di belakang dan depan diriku. Masing-masing dari mereka juga mengecek diri mereka. Mereka memegang rambut, tubuh, dan menyentuh gigi. Ada tujuh orang aku di pantulan cerminan kaca gedung itu, melakukan banyak hal dan aku tak menyadarinya saat aku turun tadi.

Ahh, ini mungkin khayalanku. Atau mungkin ini pengaruh obat. Namun, saat ku menoleh ke arah depanku, di depanku ada aku yang juga melihatku. Saat menoleh ke belakang, ada banyak aku yang juga menoleh ke arah aku dan masing-masing aku yang lainnya. 

Tiba-tiba dering bel berbunyi kencang, (lagi) menggema di kota bagus dan sepi ini.

TETTTT... TEEETTT... TEEETTT...

Saat aku melihat ke belakang, ada pasukan perawat dan dokter yang juga berpakaian putih-putih dan bermasker mengejarku di belakang. Sontak aku pun lari, diikuti oleh aku yang lainnya. 

Aku berlari kencang, melewati tempat dimana aku ditembak mati prajurit. Melihat jalan beraspal merah darah kosong tempat aku berbaring setelah ditembak mati. Melewati rumah tua, yang sudah seperti rumah diawal sebelum kota mati (rumah ini bercat cerah orange putih). Melewati tempat pria itu bersembunyi di semak-semak liar yang tinggi, tapi tempat itu hanya sebuah semak pendek yang sudah terpotong rapi dan berpagar krem. 

"Aaaaaakkkk!!"
Itu suaraku berteriak kesakitan. Aku menoleh. Ada satu orang diriku yang terjatuh pingsan, dengan jarum suntik yang tertancap di leher.

Aku melihat ke arah aku yang lainnya, mereka juga masih berlari seperti ku, mereka juga takut sepertiku, mereka juga cemas dan bingung sepertiku. 

Sekarang, bagai perlombaan aku dengan aku yang lainnya. Aku harus bertahan dari aku yang lainnya agar tak tertangkap.

Aku pun semakin mempercepat langkah lariku, pergi ke arah jalan raya di depan -jalan yang saat aku berada di kota mati, tak pernah ku lewati. Jalan itu dipisahkan dengan selokan besar kira-kira seukuran satu meter. Dibawahnya ada air jernih seukuran mata kaki yang memantulkan cahaya matahari.

Beberapa langkah lagi.. Sudah terlihat akhir jalan raya sepi ini, batas selokan, dan jalan raya ramai di depan. Banyak orang bercengkrama dan lalu lalang disana, ramai kendaraan disana. Kota yang hidup, bukan seperti kota ini yang sepi.

Sebelum menyebrang ke jalan raya itu, aku menoleh pada aku yang lain di sebrang kiri belakangku, bertanya dia siapa, lalu dia menyebutkan namaku. Di depan, ada aku yang lain yang juga bertanya pertanyaan yang sama. Aku menjawabnya dengan berkata keras; "aku yang asli!" Disaut dengan aku yang lain di belakang-belakangku yang juga sepemikiran denganku, bahwa mereka juga mengklaim aku yang asli.

Kesal dengan mereka, kesal dengan dokter dan perawat yang tak juga menyerah mengejarku sambil menuding suntikan, aku mengambil lompatan besar. Aku harus sampai di jalan raya itu. Harus sampai!

HAP!

Aku melompat dan mendarat sempurna dengan kedua kakiku yang stabil di jalan ini. Ada aku yang menjerit kesakitan jatuh ke dalam selokan, pasti tulangnya retak, batinku. Ada juga yang mengaduh kesakitan, mendarat dengan terjerembab tengkurap. Ada juga yang mendarat tak stabil namun bisa berdiri. Sementara di depanku, ada aku yang juga mendarat dan berdiri sempurna sepertiku. Dia berdiri dengan cepat, menatapku dengan tatapan seperti tatapanku. Lalu menghilang berlari cepat. 

Aku pun juga harus segera pergi dari sini. Hanya tinggal lima orang aku disini (satu telah disuntik, satu terjerembab di selokan). Masing-masing dari aku berlari ke arah yang berbeda. Aku memilih berlari ke arah jembatan tempat ramai orang berlalu-lalang. Banyak orang yang terusik dan menoleh (bahkan mencaci) ke arah kami yang sedang tergesa-gesa diburu.

Sebelum menanjak menaiki tangga jembatan, aku melihat sepasang polisi berpakaian hitam-hitam dengan label "police" di lengan mereka, berbicara di walkie talkie. "Laporan pengganggu: tangkap wanita berbaju putih-putih segera!" Samar terdengar pengumuman di walkie talkie.

Dengan nafas tak teratur aku sampai di jembatan ini. Aku mulai menundukkan kepalaku, mencoba melebur dengan orang lain, dengan menyeimbangkan langkah kaki mereka, berdempet dengan mereka, atau jalan dibawah bayang-bayang orang yang badannya lebih besar dariku.

Ketika sampai di tengah jembatan, tanganku diseret dan di cengkram oleh tangan yang lain.
"Jangan bergerak, lihat ke arah depan dalam diam!" Segera wanita itu menutup tubuhku dengan coat panjang berwarna ungu miliknya, dan meletakkan flat cap diatas rambutku.

Sementara suara walkie talkie kian mendekat diikuti derap langkah berat polisi yang mencariku. Aku menurut mengikuti saran orang yang membantuku ini, yang ternyata seorang wanita berumur 40tahunan. Berpakaian kemeja dan berambut coklat terang.

Saat polisi sudah pergi melewatiku, Ibu itu berkata;
"Jangan berkeliaran, berbahaya! Apa kamu tau kamu yang asli dimana?" Dia menatapku dan mencengkram tanganku lagi.

"Gimana kamu bisa tau ada banyak aku? Siapa kamu? Kamu kenal samaku?" 

"Aku dokter, aku tau kamu siapa. Kamu tau siapa kamu yang asli?" Lagi dia mendesakku untuk menjawab. Mendengar kata 'dokter' aku langsung panik. Aku berlari menjauh darinya berbalik ke arah tempat aku datang tadi, melempar sembarang coat dan topi ini.

"Tungguu.. kamu harus percaya padaku!" Wanita itu berteriak dan mengejarku.

Beberapa langkah menuju tempat awal di jembatan ini. Ujung tangganya bercabang. Satu tangga di kanan ke arah tempat pertama aku datang, menuju selokan ke arah kota aneh itu. Satu tangga ke tempat yang belum pernah aku datangi. Aku memilih tangga itu, berbelok ke kiri dan masih terus berlari.

Jalan disini tak seramai di jembatan. Namun beberapa langkah lagi, di depan ada jembatan baru yang lebih kecil, dan disana ramai. Aku harus kesana. Ke kerumunan yang ramai. Tak menoleh untuk memastikan Ibu itu, aku terus berlari menuju jembatan berikutnya.

Sampailah aku di depan tangga jembatan baru bercat hijau. Di tangga kelima, tiba-tiba Ibu tadi mencengkram tanganku;
"Kamu harus percaya padaku. Percayalah padaku!" Ibu tadi menatapku sungguh-sungguh. Akupun luluh.

Ibu itu menuntunku dengan jalan cepat menuju jembatan atas, masih dengan mencengkramku; "Kamu masih bingung dan tak percaya, aku mengerti. Kamu pernah ada di kota mati kan?" Dia bertanya padaku. Aku menjawabnya dengan anggukan kepala ragu-ragu.

"Nah sekarang kamu ikut aku, dijalan aku akan menjelaskan singkat. Sebelumnya ada hal penting. Dan paling penting!" Dia menghentikan langkahnya, dan langkahku pun juga ikut terhenti. Ia menatapku lebih dalam. Resah, aku ingin segera pergi, "Apa?" Nadaku terdengar kasar.

"Kamu tau kamu yang asli?" Ibu itu mencengkram kedua tanganku dengan tangannya. Sakit..

"Heeeeiiii!!!" Di belakang, amukan teriakan seorang polisi melihat ke arahku. Dia berlari kencang ke arahku. Tapi aku tak bisa meloloskan diriku dari cengkraman Ibu ini. Ibu ini tak mau melepas tanganku. Bagaimana aku bisa mempercayainya?

Seketika itu juga Ibu itu menghela nafas panjang sambil mendorongku.

Aku pikir aku akan mati untuk kedua kalinya. Namun ternyata, dibelakangku ada sebuah pintu bulat kecil seukuran badan orang dewasa saat meringkuk. Seperti pintu seluncuran. Aku didorong masuk kesini. Si Ibu berteriak; "Lewat jalan itu!"

Aku melakukan seluncur yang muat sebadan orang dewasa. Mengingatkanku dengan seluncur (perosotan) di masa kanak-kanak. Sempit, gelap, pengap. 

Sepintas aku masih bisa melihat celah tempat Ibu tadi berada di kejauhan. Polisi sudah menghampiri Ibu itu. Mereka bergumam yang tak bisa ku dengar. Penglihatan semakin kecil. Ibu itu mengeluarkan telfon genggam lipat dari saku celananya, berbicara pelan yang anehnya terdengar olehku -padahal aku sudah semakin menjauh darinya; "Aku sudah tau mana yang asli..."

Darah mendesir ke seluruh tubuh. Siapa Ibu itu? Siapa aku? Kenapa ada banyak aku? Apa aku yang asli atau aku ini palsu? 

Tiba di akhir seluncuran, aku jatuh ke tempat pembuangan sampah yang berukuran kotak besar, lebarnya lima kali lebih besar dari tubuhku. Aku terduduk diatas sampah-sampah. Bekas kulit pisang menempel dibajuku. Semerbak bau makanan busuk kian menyengat. Aku pun mencoba bangun.

Di sekelilingku ada bangunan tinggi. Aku tersudut dilorong gang sempit. Menoleh ke kiri ada pasar disana, di belakang tembok, di kanan tembok, di depan ada jalan setapak. Aku harus ke depan, menuju jalan setapak itu. Mencoba bangun, aku kembali jatuh diantara tumpukan sampah-sampah, kakiku tersangkut.

"Aaaaaakkkkk" terdengar suara samar jeritanku. Saat aku menoleh ke kiri ke arah pasar di kejauhan, ada aku disana. Tangan kanan kirinya diseret oleh dua polisi dan kakinya memberontak.

Dia melihatku; "Tolooong akuuu! tadi sudah ada yang di tangkap. Toloonggg!" Lolongan itu menyayat, tatapan itu putus asa. Aku melihat aku yang lain. Aku yang lain meminta tolong ke aku. Sementara aku susah payah bangun dari sini, menyelamatkan diri sendiri.

Salah satu polisi itu melihatku dengan bingung, lalu beralih melihat tawanan ditangannya. "Pak?" Dia meminta temannya untuk meyakinkan dia.

Teman polisinya hanya menjawab, "Ada dua?" Mereka sama-sama bingung dan saling melihatku bergantian dengan aku yang lain.

Sudah tak ada waktu. Aku pun melakukan percobaan kedua untuk bangun dan keluar dari sini, namun Pak polisi yang memegang tangan kiriku berteriak, "Heiii, heiii.... tunggu disanaa!"

Dari arah yang sama (arah kiri dari pasar) di kejauhan, ada aku yang lain. Aku pernah melihat aku yang ini. Aku yang berhasil melompat sempurna di selokan pembatas itu. Aku yang juga memiliki tatapan sama sepertiku. Dia berlari kencang, jauh dibelakangnya ramai polisi-polisi berteriak. 

Dia berlari melewatiku, menuju jalan setapak itu. Sambil menoleh ke belakang ke arahku, tatapannya seperti tatapannya yang sama seperti di awal aku menatapnya.

Aku ingin bertanya, apakah ia yang asli dan jangan-jangan aku ini aku yang palsu? Seperti mengerti isi kepalaku, dia hanya menjawabku dengan matanya.

Dan dia kembali berlari... menjauh dariku yang masih di tempat sampah.. menjauh dariku yang sudah ditangkap dua orang polisi yang kebingungan.. menjauh dari kejaran para polisi yang hanya tinggal waktu untuk menuju tempatku kini.

Mungkin dia adalah aku yang asli.. Aku harus membiarkan dia pergi.. Mungkin harus aku yang berkorban, agar aku yang lain bisa selamat..

Tapi, bagaimana kalau aku yang ini adalah aku yang asli?

Derap langkah polisipun kian mendekat.





Catatan tentang About Dream - Aku dan Aku yang Lain:

Mimpi ini terbagi menjadi dua fase. Fase pertama sebelum dan saat dibunuh, kemudian fase kedua setelah dibunuh. (Apa kamu pernah mengalami dua mimpi yang berlanjut dalam satu malam, dengan jeda kamu terbangun dari mimpi tersebut?)

Saat fase pertama selesai, diikuti dengan suara tembakan dan merasakan sakit yang luar biasa, aku pun terbangun dari mimpi. Tersadar bahwa aku belum mati. Bahwa yang tadi hanya mimpi belaka.

Dengan membawa perasaan lega, aku kembali tidur. Semua akan baik-baik saja, selama terbangun dari mimpi buruk, lalu tertidur kembali pasti tidur akan lebih nyenyak kemudian. Namun tidak kenyataannya. Aku malah melanjutkan fase kedua mimpiku.

Fase kedua di mimpi ini, ternyata lebih melelahkan dari fase sebelumnya. Di mimpi itu, aku berusaha mengontrol dan turut serta mengambil kendali atas mimpiku (pernahkah kamu merasakan saat bermimpi, bahwa kamu tau ini hanyalah mimpi?).

Aku menyakinkan diriku saat bermimpi, bahwa aku tak ingin melihat akhir dari mimpiku (barangkali karena aku takut dan tak siap tau akhir ceritanya). Aku ingin segera terbangun.

Dan voila! Aku pun terbangun.. tanpa tau seperti apa ending dari mimpi tersebut.

-Dey

0 comments:

Posting Komentar

About Me

Foto Saya
u3
opacarophile, librocubicularist
Lihat profil lengkapku