Minggu, 16 Februari 2020

#11

Tiap malam
Ia datang
Berjingkat masuk
Tanpa mengetuk
Menebar jaring
Tak bersuara
Saat semua terlelap
Ia menonton dalam gelap

Tiap malam
Ia datang
Berjingkat masuk
Tanpa mengetuk
Menangkapnya
Di botol kaca
Menyimpan dan mengunci
Dialah Sang kolektor mimpi



About Dream: Meat Eater

Siang itu mendung. Masih ada jejak gerimis di genangan air di jalan raya. Saat ini aku sedang pulang naik bis.

Isi bis antar kota ini (yang berukuran besar) tak terlalu banyak penumpang. Ada salah satu penumpang, seorang Bapak berumur 30an akhir menghampiriku. Ia meminta tolong padaku sambil menggendong anak bayi dipelukannya. Bayi itu berselimut tebal dan tak bisa kulihat dengan jelas wajah bayinya.

Si Bapak minta tolong dipinjamkan baju untuk menyelimuti bayinya (yang ntah, menurutku si bayi sudah cukup hangat tanpa perlu diberikan baju lagi untuk menutupi tubuh mungilnya). Tak ku hiraukan, Bapak itu kian mendesak meminta. Aku yang kesal dengan sikap memaksanya pun menolak. Bapak itu berlalu meninggalkanku dengan wajah marah dan menggerutu.

Lalu ia pun meminta (masih dengan nada memaksa) ke penumpang lain, agar bersedia meminjamkan baju, jaket, atau selimut untuk bayinya. Sama denganku, penumpang lain pun tidak memberikannya -karena merasa risih dengan permintaan yang memaksa itu.

Tak kenal lelah, Bapak itu melangkahkan kaki hingga ke baris jok depan (masih dengan memaksa dan meminta). Ternyata ada yang mengabulkan permintaan Bapak itu dengan terpaksa. Daripada mengusik kedamaian seisi bus, lebih baik diberikan saja kain selendang tebal miliknya itu ke Bapak.

Bapak senang bukan main, tanpa mengucapkan terima kasih ia dengan segera mengambil kain penumpang itu. Sambil menyeringai, ia membebatkan kain itu ke bayinya. 

Namun secara tiba-tiba, tubuh penumpang yang memberikan kain ke Bapak menjadi kering seperti tengkorak dengan kulit manusia. Ia bagai kehabisan darah. Ditubuhnya tak ada lagi cairan darah. 

Sontak penumpang bis pun langsung riuh. Bertanya-tanya ada apa sebenarnya. Tak masuk akal memang...

Setelah diam-diam aku perhatikan gerak-gerik Bapak dan bayinya, ternyata kain itu hanyalah tipu si Bapak. Kain tersebut bagai medium penghisap darah untuk makanan si bayi, agar bayinya bisa bertahan dan hidup.

Penumpang pun kian panik, setelah tau tipu muslihat dan kekejian Bapak. Beberapa ada yang turun dari bis ketakutan, beberapa ada yang acuh tak acuh tetap berada di bis. 

Setelah riuh mereda, Bapak kembali lagi ke saya. Minta coat panjang saya. Saya pun kaget dan panik. Tidak berpikir jernih dan takut, saya pun minta turun oleh supir bis.

Namun apesnya, ternyata ada teman si Bapak yang menjegal saya di pintu bis belakang (pintu tempat saya ingin turun bis).

Saya sudah memantapkan pikiran, apapun yang terjadi saya harus turun dari bis ini. Saya tak boleh mati, agar si bayi itu tetap hidup.

Lalu saat bus perlahan ingin berhenti, saya berhasil menerobos lari ke pintu belakang. Saya pun turun dari bis dengan selamat!

#

Disinilah saya di sebuah tempat sepi dan jalan raya lenggang. Di sisi kanan jalan raya hanya ada rimbunan pepohonan menuju hutan.

Di kiri jalan raya tempat saya berdiri hanya ada bangunan mini market. Sisanya hanya pembatas jalan. Sementara jalan didepan kian menanjak ke atas ntah menuju kemana.

Angin dingin sehabis hujan berhembus. Akupun mengatupkan gigi menahan hawa dingin. Dan tersadar, aku lupa membawa tasku yang ternyata tertinggal di bangku bis. Aku hanya menyandang goodie bag merah yang berisi berbagai macam makanan ringan.

Lagi, dengan panik saya mencari dompet saya, meraup ke dalam goodie bag paling bawah.. berucap syukur, akhirnya ketemu!

Aku tak bisa bertahan di tempat asing ini dengan hanya mengandalkan makanan ringan dari goodie bag. Aku butuh uang untuk melanjutkan perjalanan menggunakan transportasi lain yang lebih aman dan berharap tidak bertemu dengan Bapak dan bayi aneh itu lagi.

Lalu dengan tergesa aku pun berlari dan berlari -khawatir Bapak dan bayi aneh itu akan mengikutiku. Aku berlari ke jalan raya turunan. Melewati pemuda-pemuda pangkalan ojek yang melihatku dengan terheran-heran berlari di jalan raya sepi ini.

Sampai tibalah aku dengan nafas tersengal-sengal di gapura gerbang utama. Ada seorang Bapak kurus dan berambut gondrong penjaga gerbang utama ini. Ia bertanya padaku, aku mau kemana.

Karena aku masih takut dan panik, aku tak berpikir rasional, mungkin saja Bapak itu adalah teman Bapak dan bayi aneh tadi. Mereka berkomplot dan melakukan tipu muslihat berikutnya untuk menagkapku dan dipersembahkan untuk bayi penghisap darah. Tak menjawab aku kembali berlari.

Ternyata selepas gerbang utama, hujan gerimis telah turun. Beberapa orang berjalan cepat dengan payungnya. Langit diatas kian kelam. Sinar matahari tak tampak sama sekali.

Bercampur keringat, air hujan dan rasa cemas yang amat sangat, aku memberanikan diri untuk menengok ke belakang. Mengecek apakah Bapak dan Bayi aneh itu mengejarku..

Dan benar saja!

Dengan tergopoh-gopoh Bapak dan bayi itu tampak di belakang. Bayang mereka kian tampak jelas di kejauhan. 

Aku harus lari! Tekadku kian memuncak.

#

Tibalah aku di jalan raya sibuk, selepas gapura gerbang utama. Aku akan mencari taksi untuk transportasiku menuju rumah. Berkali-kali aku memhentikan taksi, berkali-kali pula taksi menolak. Semua taksi telah berpenumpang.

Dengan tekad menyelamatkan diri, aku mengambil resiko. Aku berlari berhambur ke arah taksi dan mobil-mobil yang sedang berjalan di jalan raya besar ini. Bunyi klakson kencang bersahutan.

Alhirnya aku menjatuhkan diri ke sebuah taksi kosong, namun taksi itu menolak ingin membawaku dan menghindar melaju pergi dariku. Sementara dibelakang, jarak Bapak dan Bayi aneh yang mengejarku kian mendekat!

Aku pun makin panik, menjerit minta tolong kepada mobil-mobil dan taksi yang tak juga memberikanku pertolongan.

Secara mendadak dari arah belakang di jalan raya ini, sebuah mobil sedan putih berukuran kecil berhenti di depanku. Bapak pemilik mobil melihatku dan berkata, "ayo masuk!"

Akhirnya pertolongan datang! Bapak itu mempersilahkan aku masuk ke dalam mobilnya.

Aku membuka pintu belakang di jok penumpang mobil putih ini. Namun ternyata sudah berpenumpang. Ada seorang anak perempuan kecil duduk dalam diam, disebelahnya ada anak laki-laki tidur dipangkuan anak kecil perempuan itu.

Anak kecil perempuan tak memberikan ruang untuk aku duduk, namun aku memaksa masuk dan duduk di sebelah anak perempuan itu (pokoknya aku harus selamat!). Anehnya anak perempuan itu tak peduli dengan kehadiranku, ia tak berkutik menggeser tubuhnya sedikitpun atau menyambut kedatanganku. Tatapannya kosong melihat ke depan. 

Sementara di kursi penumpang depan, ada seorang Ibu berambut sebahu, dia khawatir terhadapku menanyakan apa aku baik-baik saja, dan aku menjawab baik-baik saja ke Ibu itu dan menoleh ke Bapak yang menyelamatkanku (bertubuh gempal dan rambut sebahu tipis bergelombang, ada sisa kebotakan di jidat depannya) sambil berucap terima kasih karena sudah mau menampungku.

Dan anehnya, di sela kursi depan antara Bapak dan Ibu, ada seorang anak remaja laki-laki dan perempuan. Mereka berdua duduk membisu sama seperti dua anak kecil disebelahku. Mereka diam tak bersuara dan tak bergerak. Yang bergerak hanya beberapa helai rambut remaja perempuan di depan yang tertiup angin dari AC mobil.

Bapak itu pun terus berkendara, jauh melintas ke jalan asing yang tak ku kenal. Sesekali ia mengecek kaca spion melihat ke belakang. Ternyata Bapak dan Bayi aneh itu masih mengikuti aku! Tak jera, mereka malah menambah kekuatan berlari mengejarku, lari mereka semakin cepat.. dan cepat! Kecepatannya sama seperti kecepatan mobil ini.

Sang Ibu cemas, Bapak gugup.
Terlintas ide dari Ibu, "Pak, lebih baik dibelokkan saja ke tempat gang itu" Bapak pun menurut.

Tanpa tau aku akan dibawa kemana dan aku belum bilang tujuan aku kemana (karena aku ingin terbebas dari Bapak dan Bayi aneh itu terlebih dahulu baru memberi tahu tujuanku kemana), aku menurut saja dibawa ntah ke tujuan dimana. Aku tak bertanya dan hanya setuju-setuju saja.

Saat bapak itu membelokkan mobil, masuk ke gang sempit seukuran mobil, dan belok ke kiri, ternyata gang ini adalah halaman belakang rumah seseorang. Ahh mungkin Bapak ini ingin berkamuflase sebentar, dengan memarkirkan mobilnya disini, agar seolah-olah mobil ini seperti mobil pemilik rumah ini.

Lalu kemudian Bapak pun mematikan mesin. Tapi ternyata bayang dikejauhan sudah terlihat, Bapak dan Bayi aneh masih terus mengejar dan menemukan tempat persembunyian ini!

Si Ibu & Bapak berkata, mau tak mau kita harus ambil tindakan untuk menyelamatkan diri, tanpa aku tau apa maknanya. Si Ibu yakin dan mengangguk setuju; "Cepat Pak, sebelum terlambat!"

Bapak bertubuh gempal mengeluarkan potongan-potongan senapan laras panjang berburu dari laci mobilnya. Dirakitnya dan terakhir di isinya peluru. Dengan gagah berani dan muka cemas Ibu, Bapak keluar dari mobil (di depan halaman rumah ini ada mobil yang sedang parkir di depan, sebuah mobil tua berkarat seperti mobil pengangkut makanan), lalu Bapak membuka pintu belakang mobil tua itu.

Dari arah belakang tampak Bapak dan Bayi aneh (yang ditetap digendongannya). Seketika itu juga...

DOOORRRRR!!

Bapak menembakkan peluru ke arah Bapak dan bayi aneh. Tubuh Bapak dan bayi aneh terlempar ke dalam mobil tua berkarat yang terbuka. Bapak bertubuh gempal mengikuti mereka, masuk ke dalam mobil itu, lalu mobil itu pun tertutup.

Saya melihatnya dalam panik dan cemas di dalam mobil di jok belakang. Kalut bukan main. Jantung berdentum kencang, bulir keringat lengket dengan baju. Perasaan takut makin menguasai. Bagaimana kalau Bapak bertubuh gempal malah di hisap darahnya oleh bayi aneh itu? Bagaimana kalau Bapak dan bayi aneh itu malah masih hidup?

Sementara seisi mobil sepi, dua pasang anak kecil dan dua pasang remaja masih duduk diam membisu. Ibu hanya sedikit cemas melihat ke mobil tua itu sama seperti saya. AC mobil kian dingin. Aku pun menggigil. Detak jarum jam melambat. Aku benci menunggu dalam ketakutan.

Tak berapa lama... mobil didepan terbuka lebar.

Pemandang di depan terlihat jelas. Kepala Bapak aneh sudah tak ada! Lilitan kain penutup bayi yang tak terlihat itu diam tak bernyawa. Isi mobil berkarat itu penuh cipratan darah segar. 

Lalu Bapak bertubuh gempal turun dengan gagah, dan berjalan ke arah mobil kami. Saya takjub (meskipun ada beberapa rasa aneh, kenapa kepala Bapak aneh itu kepalanya tak ada?).

Ketika Bapak membuka pintu mobil kami dan aku membanjirinya dengan ucapan terima kasih dan bertanya, "Kok bisa? Kenapa kepala Bapak dengan bayi aneh yang mengejar saya tak ada?"

Bapak itu membalikkan badannya ke arah kursi penumpang, sambil melihat saya dan memberikan kartu nama dia dengan tangannya yang terciprat jejak darah Bapak dengan bayi aneh tadi.

Seketika hawa seisi mobil menjadi dingin. Ibu, dua pasang anak kecil dan dua pasang remaja yang sejak tadi hanya diam saja berbalik ke arah saya menatap saya dengan tatapan tajam.

Bapak menyeringai ke arah saya, membuka mulutnya lebar-lebar. Pipi hingga dagunya robek, diperlihatkannya semua gigi-gigi taringnya yang berwarna kuning. Lidahnya memanjang. Terlihat sisa darah dan daging Bapak dengan bayi aneh di dalam mulut menyeramkan itu.

Aku terkejut, jantungku bagai berhenti berdetak. Aku terbanting dan terpojok ke kursi belakang, tak bisa berkutik. 

Aku menahan nafas. Memejam mata kuat-kuat.

Dan kartu nama Bapak itu pun jatuh lunglai dari tanganku, bertulis dengan tinta merah bata; "Meat Eater"





Catatan tentang About Dream - Meat Eater:

Siapapun itu, pasti udah pernah mengalami mimpi seram. Ntah memimpikan sosok yang berwujud monster, setan, atau makhluk seram lainnya.

Sama seperti yang aku mimpikan kali ini. Mulai dari sosok Bapak dengan bayinya yang seperti campuran antara sosok vampir penghisap darah dan bayi Voldemort (dari film Harry Potter) yang dimana sang bayi akan mencapai sosok tubuh orang dewasa sempurna saat ada yang mengorbankan bagian tubuh hidup mereka untuk (bayi) Voldemort.

Dan tentu saja highlightnya adalah keluarga penipu yang sama seperti zombie -memakan tubuh manusia. Tapi kali ini namanya berbeda, bukan zombie. Monster jenis baru yang ntah sudah ada dan pernah dipakai sebelumnya oleh orang lain, berwujud manusia namun ternyata monster pemakan daging. Mereka adalah Meat Eater.

Semoga aku bisa selamat dari Meat Eater walau keadaanku sudah terpojok di dalam mimpi itu.

-Dey

About Dream: Aku dan Aku yang Lain

Kota ini bagai kota mati. Langitnya terlalu kelabu. Koran dan sampah bekas makanan berserak dijalanan, diterbangkan angin. Mobil-mobil tak berpenghuni terparkir sembarangan kontras dengan gedung-gedung pencakar langit yang juga berdiri angkuh diam tak bernyawa, ada kacanya yang pecah, gelap gulita di dalam.

Sementara aku dan beberapa orang yang lainnya bersembunyi di dalam rumah tua rongsok rapuh, beberapa yang lainnya (para pria) bersembunyi di antara semak-semak tinggi dipinggir jalan.

Sebelum pergi ke arah semak-semak tinggi, seorang pria memegang tanganku, berkata padaku; "Kamu tunggu disini sebentar di rumah tua, sementara aku dan beberapa orang lainnya akan melakukan serangan dadakan ke penguasa kota. Nanti aku jemput. Aku janji. Bersabarlah."

Kota ini sudah diambil alih oleh seorang penguasa, beberapa penduduk ada yang mengorbankan nyawa.. memberontak dari tirani ini. Beberapa ada yang mati sia-sia jika tidak menurut dengan peraturan penguasa baru. Tak ada yang tau apa tujuan tersembunyi penguasa.

Aku mengintip diam-diam dari rumah. Di atas suara gemuruh memekakkan telinga terdengar. Pesawat putih penguasa telah tiba. Pintu pesawat terbuka. Deretan prajurit penguasa berhelm putih, berbaju besi putih-putih dan bersenapan berbaris sempurna turun di jalan raya sepi ini. Berjejer panjang dari jalan turunnya pesawat hingga ke arah menuju depan rumah tua ini. Seisi rumah panik dalam diam -tak boleh ada yang bersuara, harus tetap diam agar tak ketauan. Aku melirik ke arah semak, khawatir. Rencana ini tak sesuai seperti yang diharapkan. Kami kalah jumlah. Mereka bisa mati sia-sia dalam serangan. 

Tak berapa lama turunlah sosok wanita tinggi, ramping, tegap berbaju kaisar putih, berambut bob pendek putih mempesona. Tatapannya tajam melintas ke arah gedung-gedung dan rumah-rumah yang hampir roboh ini.

Dibelakangnya, asistennya mengeluarkan pengeras suara. "Barangsiapa yang menyerahkan diri dihadapan kami, akan hidup. Semuanyaaaa... harap tunjukkan diri kalian! Kalian akan hidup!!"

Suara itu menggema di kota mati. Terlalu sepi. Terlalu mencekam. Dan tak ada jawaban. Karena kami tau, pernyataan itu hanya kebohongan belaka, kami tak akan tertipu lagi. Dulu ada yang sukarela menyerahkan diri, namun berakhir dengan ditembak mati.

Naluriku pun memberontak. Aku harus memberitahu pria itu. Dia harus membatalkan rencananya, atau kita semua yang selamat di persembunyian akan mati sia-sia. Aku bergerak maju, keluar dari persembunyian, meski ada yang mencegah sambil berlinang airmata dalam diam. Aku berjalan perlahan, sembunyi-sembunyi. Sementara Ratu penguasa masih berdiskusi dengan asistennya dan para prajurit bergeming.

Selangkah lagi menuju semak-semak tempat pria itu. Tak melihat ranting panjang yang tertutup dedauanan, aku melaju pergi dan.. "Kreeeeeek!"

Aku terdiam. Prajurit terdekat dari tempatku menoleh ke arah tempat sembunyiku, bersamaan dengan pria itu yang juga menoleh ke arahku sambil membelalakkan kedua matanya. Pria itu berlari kencang ke arahku, begitu juga prajurit itu, menghentikan Ratu penguasa dan asistennya yang sedang berdiskusi dan ikut menoleh ke arah sini.

Aku menahan nafas, berdoa dalam diam. Bulir keringatku perlahan tampak. Penyesalan datang terlambat.

Beberapa menit kemudian, seperti yang sudah diduga. Aku terseret di tengah jalan kota ini. Diikuti dengan pria itu dan orang-orang lainnya yang akan melakukan penyerangan. Kami ditangkap tanpa bisa menunjukkan perlawanan. Prajurit terlalu kuat dan gesit menyergap kami. Senjata kami disita sebelum kami sempat pakai.

Lalu kami di jejerkan di tempat barisan prajurit yang tadi. Aku ditempatkan di tempat terakhir, sebelumku ada pria itu. Pria itu menatapku dengan tatapan yang tak terbaca. Mungkin dia kecewa padaku, mungkin dia khawatir, dan masih banyak kemungkinan lainnya yang tak bisa ku tebak. Dibarisan awal ada orang-orang yang akan melakukan penyergapan. Ratu penguasa menyeringai senang, ada tangkapan hari ini, yang berarti ada yang mati hari ini.

Dan benar saja... satu per satu orang-orang kami yang ditangkap, ditembak mati tanpa ditanya apapun, tanpa diberikan penjelasan apapun, tanpa dikasih waktu untuk membela diri.

Doorrr.. doorrrr.. doorrrr...

Bunyi tembakan menggema dingin. Satu per satu roboh. Mayat bergelimang. Jalan bersimbah darah. Aku merasa bersalah. Semua penyebab kejadian ini adalah karenaku. Aku yang bodoh. Aku yang terlalu gegabah mengambil langkah.

Kini tiba giliran pria itu. Prajurit juru tembak sudah di depan pria itu, diikuti oleh langkah Ratu penguasa.
"Well.. well... ternyata kamu sang pemimpin. Akhirnya hari ini kamu menunjukkan keberadaanmu" Dia menyeringai ke arah pria itu.

"Tembak mati saya, jangan dia! Biarkan dia hidup!" pria itu berkata sambil menunjukku dengan dagunya. Sikap seorang pahlawan. Sikap seorang pemimpin. Aku bersikeras mengingat siapa pria ini.. saat di rumah tua, saat menuju semak-semak, saat tertangkap, sampai saat ini.. Aku terus mengingat-ingat siapa dia.. Siapa pria ini? Apa hubungannya denganku? Tapi tak ada hasil. Aku masih tak mengingat siapa dia.. yang teringat hanyalah dari pesan terakhirnya di rumah tua tadi. 

Aku ingin menyelamatkannya tadi sebelum penyergapan. Sebuah perasaan yang muncul secara tiba-tiba dan sulit diutarakan.. rasa yang membuatku juga bingung.

"Well.. well.. bukan begitu caranya" Ratu penguasa tersenyum sambil menggelengkan kepalanya dan menaruh jari telunjuk kanannya yang ramping ke bibir pria itu.

Sepersekian detik, pria itu menatapku, ia ingin berkata sesuatu ke padaku, namun perintah sang Ratu penguasa sudah lebih dulu dilaksanakan.

Doorrrrr...

Sekali lagi bunyi senapan menggema. Jejak mesiu tertinggal di udara hampa di depan tempat pria itu berdiri kokoh. Kini ia jatuh ke belakang, tak bernyawa. Ada lingkaran peluru di tengah dahinya. Darah memerah kembali membanjiri jalan.

Aku semakin gugup. Tanganku makin berkeringat. Aku sesak nafas. Tubuhku kaku.

"Nah, mari sekarang dengar kalimat darimu.. dimana tempat sisa orang-orang yang masih bersembunyi?" Sang Ratu membuka suara. Menatapku tajam tanpa senyuman. Aku membatu. Tak boleh menjawab. Aku tak boleh memberitahunya. Tak boleh. 

"Hm?" Sang Ratu tak sabar menunggu, tatapan tajamnya sudah memotong jantungku lebih dulu, nyaliku semakin ciut. 

Prajurit bertopeng didepanku sudah meletakkan ujung senapan dingin di dahiku. Sebentar lagi, aku akan mati..

Saat mencoba fokus akan kematianku, aku mendengar jerit-jerit suara dikejauhan. Dan entah suara dari mana, suara bom berdentum. Memekakkan telinga. Telingaku berdenging kencang. Lalu bayang sosok perempuan yang tadi mencegahku sudah di cengkram kuat oleh prajurit. Sisa dari kami di rumah tua sudah digelandang ke arah jalan raya. Prajurit telah menemukan mereka sebelum aku menjawab pertanyaan sang Ratu. Jadi... inilah kekuatan sesungguhnya dari Prajurit. 

Saat aku membelalak terkejut dan ingin buka suara membela mereka, Sang Ratu menghela nafas sambil menggeleng perlahan, dan prajurit menembakkan peluru ke dalam dahiku, masuk ke dalam tengkorakku. Sakit. Amat sangat sakit. Perih tak tertahan. Aku limbung dan jatuh kebelakang. Jadi, begini rasanya mati..

Kami semua mati sia-sia.

#

Aku terkejut. Tersadar membuka mata perlahan sambil menghirup nafas panjang. Terengah-engah menatap ruang kotak putih semua. Degup jantungku berirama tak keruan.

Aku berada di tempat tidur tinggi putih. Kepalaku berdenyut-denyut sakit. Nafasku masih tak teratur. Aku mencoba duduk, menyeimbangkan tubuh. Mencoba mengumpulkan sisa-sisa ingatan terakhir tentang kematianku.

Saat sudah cukup kuat, aku berdiri. Memencet tombol merah "open" di sebelah pintu. Pintu terbuka dan aku keluar dari kamar putih itu. Kemilau cahaya putih memenuhi lorong ini. Aku berjalan sambil meraba-raba dinding lorong sambil menyipitkan mata. Sepi, hanya terdiri dari banyaknya pintu-pintu kelabu.

Berjalan sempoyongan, aku turun dari eskalator gedung ini. Masih sepi tak berpenghuni. Saat tiba dibawah, pintu utama otomatis terbuka.

Aku sudah berada diluar. Aku menghirup udara segar banyak-banyak untuk memulihkan tenagaku. Aku menatap ke sekeliling. Kota yang penuh warna dan rapi. Tak ada koran dan sampah sisa makanan berserak. Tak ada mobil kosong yang memenuhi jalan.

Langit biru, cahaya matahari hangat, pepohonan di jalan tumbuh subur berwarna hijau, dilengkapi dengan warna-warni bunga yang berjajar rapi di sisi jalan. Bangku kosong taman terawat berada disana, tempatku dulu duduk-duduk santai menghabiskan waktu istirahat dikala senja. 

Ahh, kota ini... kota ini sama seperti kota tempatku tinggal sebelum kota mati datang. Aku dikotaku ternyata.. Tapi, apa yang terjadi sebenarnya? Apakah benar ini kotaku? Aku tak jadi mati?

Denyut kepalaku terhenti seiring dengan berbagai pertanyaan muncul. Saat tubuhku kuat, aku pun menelusuri jalan raya ini.

Langkahku terhenti di depan sebuah gedung dengan kaca tinggi, aku melihat diriku. Aku yang memakai baju tidur lengan panjang bersaku dua warna putih, celana tidur longgar berwarna putih, sepatu lari tanpa tali berwarna putih.

Saat aku mendekat ke arah cerminan kaca gedung itu, aku menyentuh wajahku yang tak berubah, rambutku yang juga masih sepanjang bahu lebih sedikit yang tergerai. 

Lalu, pandangan beralih ke pantulan diriku..

Ternyata ada diriku yang lain di belakang dan depan diriku. Masing-masing dari mereka juga mengecek diri mereka. Mereka memegang rambut, tubuh, dan menyentuh gigi. Ada tujuh orang aku di pantulan cerminan kaca gedung itu, melakukan banyak hal dan aku tak menyadarinya saat aku turun tadi.

Ahh, ini mungkin khayalanku. Atau mungkin ini pengaruh obat. Namun, saat ku menoleh ke arah depanku, di depanku ada aku yang juga melihatku. Saat menoleh ke belakang, ada banyak aku yang juga menoleh ke arah aku dan masing-masing aku yang lainnya. 

Tiba-tiba dering bel berbunyi kencang, (lagi) menggema di kota bagus dan sepi ini.

TETTTT... TEEETTT... TEEETTT...

Saat aku melihat ke belakang, ada pasukan perawat dan dokter yang juga berpakaian putih-putih dan bermasker mengejarku di belakang. Sontak aku pun lari, diikuti oleh aku yang lainnya. 

Aku berlari kencang, melewati tempat dimana aku ditembak mati prajurit. Melihat jalan beraspal merah darah kosong tempat aku berbaring setelah ditembak mati. Melewati rumah tua, yang sudah seperti rumah diawal sebelum kota mati (rumah ini bercat cerah orange putih). Melewati tempat pria itu bersembunyi di semak-semak liar yang tinggi, tapi tempat itu hanya sebuah semak pendek yang sudah terpotong rapi dan berpagar krem. 

"Aaaaaakkkk!!"
Itu suaraku berteriak kesakitan. Aku menoleh. Ada satu orang diriku yang terjatuh pingsan, dengan jarum suntik yang tertancap di leher.

Aku melihat ke arah aku yang lainnya, mereka juga masih berlari seperti ku, mereka juga takut sepertiku, mereka juga cemas dan bingung sepertiku. 

Sekarang, bagai perlombaan aku dengan aku yang lainnya. Aku harus bertahan dari aku yang lainnya agar tak tertangkap.

Aku pun semakin mempercepat langkah lariku, pergi ke arah jalan raya di depan -jalan yang saat aku berada di kota mati, tak pernah ku lewati. Jalan itu dipisahkan dengan selokan besar kira-kira seukuran satu meter. Dibawahnya ada air jernih seukuran mata kaki yang memantulkan cahaya matahari.

Beberapa langkah lagi.. Sudah terlihat akhir jalan raya sepi ini, batas selokan, dan jalan raya ramai di depan. Banyak orang bercengkrama dan lalu lalang disana, ramai kendaraan disana. Kota yang hidup, bukan seperti kota ini yang sepi.

Sebelum menyebrang ke jalan raya itu, aku menoleh pada aku yang lain di sebrang kiri belakangku, bertanya dia siapa, lalu dia menyebutkan namaku. Di depan, ada aku yang lain yang juga bertanya pertanyaan yang sama. Aku menjawabnya dengan berkata keras; "aku yang asli!" Disaut dengan aku yang lain di belakang-belakangku yang juga sepemikiran denganku, bahwa mereka juga mengklaim aku yang asli.

Kesal dengan mereka, kesal dengan dokter dan perawat yang tak juga menyerah mengejarku sambil menuding suntikan, aku mengambil lompatan besar. Aku harus sampai di jalan raya itu. Harus sampai!

HAP!

Aku melompat dan mendarat sempurna dengan kedua kakiku yang stabil di jalan ini. Ada aku yang menjerit kesakitan jatuh ke dalam selokan, pasti tulangnya retak, batinku. Ada juga yang mengaduh kesakitan, mendarat dengan terjerembab tengkurap. Ada juga yang mendarat tak stabil namun bisa berdiri. Sementara di depanku, ada aku yang juga mendarat dan berdiri sempurna sepertiku. Dia berdiri dengan cepat, menatapku dengan tatapan seperti tatapanku. Lalu menghilang berlari cepat. 

Aku pun juga harus segera pergi dari sini. Hanya tinggal lima orang aku disini (satu telah disuntik, satu terjerembab di selokan). Masing-masing dari aku berlari ke arah yang berbeda. Aku memilih berlari ke arah jembatan tempat ramai orang berlalu-lalang. Banyak orang yang terusik dan menoleh (bahkan mencaci) ke arah kami yang sedang tergesa-gesa diburu.

Sebelum menanjak menaiki tangga jembatan, aku melihat sepasang polisi berpakaian hitam-hitam dengan label "police" di lengan mereka, berbicara di walkie talkie. "Laporan pengganggu: tangkap wanita berbaju putih-putih segera!" Samar terdengar pengumuman di walkie talkie.

Dengan nafas tak teratur aku sampai di jembatan ini. Aku mulai menundukkan kepalaku, mencoba melebur dengan orang lain, dengan menyeimbangkan langkah kaki mereka, berdempet dengan mereka, atau jalan dibawah bayang-bayang orang yang badannya lebih besar dariku.

Ketika sampai di tengah jembatan, tanganku diseret dan di cengkram oleh tangan yang lain.
"Jangan bergerak, lihat ke arah depan dalam diam!" Segera wanita itu menutup tubuhku dengan coat panjang berwarna ungu miliknya, dan meletakkan flat cap diatas rambutku.

Sementara suara walkie talkie kian mendekat diikuti derap langkah berat polisi yang mencariku. Aku menurut mengikuti saran orang yang membantuku ini, yang ternyata seorang wanita berumur 40tahunan. Berpakaian kemeja dan berambut coklat terang.

Saat polisi sudah pergi melewatiku, Ibu itu berkata;
"Jangan berkeliaran, berbahaya! Apa kamu tau kamu yang asli dimana?" Dia menatapku dan mencengkram tanganku lagi.

"Gimana kamu bisa tau ada banyak aku? Siapa kamu? Kamu kenal samaku?" 

"Aku dokter, aku tau kamu siapa. Kamu tau siapa kamu yang asli?" Lagi dia mendesakku untuk menjawab. Mendengar kata 'dokter' aku langsung panik. Aku berlari menjauh darinya berbalik ke arah tempat aku datang tadi, melempar sembarang coat dan topi ini.

"Tungguu.. kamu harus percaya padaku!" Wanita itu berteriak dan mengejarku.

Beberapa langkah menuju tempat awal di jembatan ini. Ujung tangganya bercabang. Satu tangga di kanan ke arah tempat pertama aku datang, menuju selokan ke arah kota aneh itu. Satu tangga ke tempat yang belum pernah aku datangi. Aku memilih tangga itu, berbelok ke kiri dan masih terus berlari.

Jalan disini tak seramai di jembatan. Namun beberapa langkah lagi, di depan ada jembatan baru yang lebih kecil, dan disana ramai. Aku harus kesana. Ke kerumunan yang ramai. Tak menoleh untuk memastikan Ibu itu, aku terus berlari menuju jembatan berikutnya.

Sampailah aku di depan tangga jembatan baru bercat hijau. Di tangga kelima, tiba-tiba Ibu tadi mencengkram tanganku;
"Kamu harus percaya padaku. Percayalah padaku!" Ibu tadi menatapku sungguh-sungguh. Akupun luluh.

Ibu itu menuntunku dengan jalan cepat menuju jembatan atas, masih dengan mencengkramku; "Kamu masih bingung dan tak percaya, aku mengerti. Kamu pernah ada di kota mati kan?" Dia bertanya padaku. Aku menjawabnya dengan anggukan kepala ragu-ragu.

"Nah sekarang kamu ikut aku, dijalan aku akan menjelaskan singkat. Sebelumnya ada hal penting. Dan paling penting!" Dia menghentikan langkahnya, dan langkahku pun juga ikut terhenti. Ia menatapku lebih dalam. Resah, aku ingin segera pergi, "Apa?" Nadaku terdengar kasar.

"Kamu tau kamu yang asli?" Ibu itu mencengkram kedua tanganku dengan tangannya. Sakit..

"Heeeeiiii!!!" Di belakang, amukan teriakan seorang polisi melihat ke arahku. Dia berlari kencang ke arahku. Tapi aku tak bisa meloloskan diriku dari cengkraman Ibu ini. Ibu ini tak mau melepas tanganku. Bagaimana aku bisa mempercayainya?

Seketika itu juga Ibu itu menghela nafas panjang sambil mendorongku.

Aku pikir aku akan mati untuk kedua kalinya. Namun ternyata, dibelakangku ada sebuah pintu bulat kecil seukuran badan orang dewasa saat meringkuk. Seperti pintu seluncuran. Aku didorong masuk kesini. Si Ibu berteriak; "Lewat jalan itu!"

Aku melakukan seluncur yang muat sebadan orang dewasa. Mengingatkanku dengan seluncur (perosotan) di masa kanak-kanak. Sempit, gelap, pengap. 

Sepintas aku masih bisa melihat celah tempat Ibu tadi berada di kejauhan. Polisi sudah menghampiri Ibu itu. Mereka bergumam yang tak bisa ku dengar. Penglihatan semakin kecil. Ibu itu mengeluarkan telfon genggam lipat dari saku celananya, berbicara pelan yang anehnya terdengar olehku -padahal aku sudah semakin menjauh darinya; "Aku sudah tau mana yang asli..."

Darah mendesir ke seluruh tubuh. Siapa Ibu itu? Siapa aku? Kenapa ada banyak aku? Apa aku yang asli atau aku ini palsu? 

Tiba di akhir seluncuran, aku jatuh ke tempat pembuangan sampah yang berukuran kotak besar, lebarnya lima kali lebih besar dari tubuhku. Aku terduduk diatas sampah-sampah. Bekas kulit pisang menempel dibajuku. Semerbak bau makanan busuk kian menyengat. Aku pun mencoba bangun.

Di sekelilingku ada bangunan tinggi. Aku tersudut dilorong gang sempit. Menoleh ke kiri ada pasar disana, di belakang tembok, di kanan tembok, di depan ada jalan setapak. Aku harus ke depan, menuju jalan setapak itu. Mencoba bangun, aku kembali jatuh diantara tumpukan sampah-sampah, kakiku tersangkut.

"Aaaaaakkkkk" terdengar suara samar jeritanku. Saat aku menoleh ke kiri ke arah pasar di kejauhan, ada aku disana. Tangan kanan kirinya diseret oleh dua polisi dan kakinya memberontak.

Dia melihatku; "Tolooong akuuu! tadi sudah ada yang di tangkap. Toloonggg!" Lolongan itu menyayat, tatapan itu putus asa. Aku melihat aku yang lain. Aku yang lain meminta tolong ke aku. Sementara aku susah payah bangun dari sini, menyelamatkan diri sendiri.

Salah satu polisi itu melihatku dengan bingung, lalu beralih melihat tawanan ditangannya. "Pak?" Dia meminta temannya untuk meyakinkan dia.

Teman polisinya hanya menjawab, "Ada dua?" Mereka sama-sama bingung dan saling melihatku bergantian dengan aku yang lain.

Sudah tak ada waktu. Aku pun melakukan percobaan kedua untuk bangun dan keluar dari sini, namun Pak polisi yang memegang tangan kiriku berteriak, "Heiii, heiii.... tunggu disanaa!"

Dari arah yang sama (arah kiri dari pasar) di kejauhan, ada aku yang lain. Aku pernah melihat aku yang ini. Aku yang berhasil melompat sempurna di selokan pembatas itu. Aku yang juga memiliki tatapan sama sepertiku. Dia berlari kencang, jauh dibelakangnya ramai polisi-polisi berteriak. 

Dia berlari melewatiku, menuju jalan setapak itu. Sambil menoleh ke belakang ke arahku, tatapannya seperti tatapannya yang sama seperti di awal aku menatapnya.

Aku ingin bertanya, apakah ia yang asli dan jangan-jangan aku ini aku yang palsu? Seperti mengerti isi kepalaku, dia hanya menjawabku dengan matanya.

Dan dia kembali berlari... menjauh dariku yang masih di tempat sampah.. menjauh dariku yang sudah ditangkap dua orang polisi yang kebingungan.. menjauh dari kejaran para polisi yang hanya tinggal waktu untuk menuju tempatku kini.

Mungkin dia adalah aku yang asli.. Aku harus membiarkan dia pergi.. Mungkin harus aku yang berkorban, agar aku yang lain bisa selamat..

Tapi, bagaimana kalau aku yang ini adalah aku yang asli?

Derap langkah polisipun kian mendekat.





Catatan tentang About Dream - Aku dan Aku yang Lain:

Mimpi ini terbagi menjadi dua fase. Fase pertama sebelum dan saat dibunuh, kemudian fase kedua setelah dibunuh. (Apa kamu pernah mengalami dua mimpi yang berlanjut dalam satu malam, dengan jeda kamu terbangun dari mimpi tersebut?)

Saat fase pertama selesai, diikuti dengan suara tembakan dan merasakan sakit yang luar biasa, aku pun terbangun dari mimpi. Tersadar bahwa aku belum mati. Bahwa yang tadi hanya mimpi belaka.

Dengan membawa perasaan lega, aku kembali tidur. Semua akan baik-baik saja, selama terbangun dari mimpi buruk, lalu tertidur kembali pasti tidur akan lebih nyenyak kemudian. Namun tidak kenyataannya. Aku malah melanjutkan fase kedua mimpiku.

Fase kedua di mimpi ini, ternyata lebih melelahkan dari fase sebelumnya. Di mimpi itu, aku berusaha mengontrol dan turut serta mengambil kendali atas mimpiku (pernahkah kamu merasakan saat bermimpi, bahwa kamu tau ini hanyalah mimpi?).

Aku menyakinkan diriku saat bermimpi, bahwa aku tak ingin melihat akhir dari mimpiku (barangkali karena aku takut dan tak siap tau akhir ceritanya). Aku ingin segera terbangun.

Dan voila! Aku pun terbangun.. tanpa tau seperti apa ending dari mimpi tersebut.

-Dey

About Dream: Pengantar tentang Dey

Saat memasuki loop dan menegak kapsul, Dey terkadang bermimpi. 

Kapsul bisa menunjukkan kejadian dari ingatan yang ingin dilupakan, kejadian dari imajinasi hasil pengharapan, dan sebuah kejadian yang dia alami saat terlelap. Pada part ini dikhususkan untuk membahas tentang isi mimpi Dey. 

Mimpi Dey tak ada kaitannya dengan ingatannya yang terlupa atau imajinasi pengharapannya (ini adalah hal yang berbeda dari kisah di part 'cerita Dey').

Part ini hanyalah sebuah mimpi. Sama seperti mimpi-mimpi yang pernah kamu rasakan, lihat dan alami saat kamu tidur. 

Diakhir cerita, Dey memberikan catatan tentang mimpinya. Catatan tentang apa yang ia rasakan saat sebelum atau setelah bermimpi.

Mimpi Dey terkadang tak dapat dimengerti dengan kata. Terdiri dari susunan kalimat yang berantakan dan tak beraturan.

Terkadang kamu membaca mimpi Dey yang luar biasa tak terjangkau imajinasi kamu atau orang yang pernah kamu dengar cerita tentang mimpinya.

Terkadang pula mimpinya malah sangat sederhana dan gampang dicerna. Diceritakan tanpa berbelit-belit.

Sekali lagi, ini hanya cerita tentang mimpi.. dari Dey, untukmu.

Selasa, 11 Februari 2020

#10

Sepotong sajak rasa, yang tertulis di buku kenangan.. oleh remaja yang menuju dewasa:

Terpatri dengan bahasa bisu
Batas itu menjadi semu
Dan janjimu pun menjadi candu

#

X

#9

Besok ada dimana?
Begitu tanyamu dengan dahi berkerut dan bibir cemberut.

Obsesi terhadap besok tak menghentikan pencarianmu. Berlari-lari kau kejar sosok besok. Meski ia tak juga tampak.

Besok itu apa?
Lagi.. kau bertanya dengan gelisah, menatapku dengan tatapan resah.
Besok kau cari-cari, menelusuri labirin sunyi.
Lagi.. ia tak dapat kau temukan disini.

Sudah ketemu besoknya?
Kau membatu sebagai jawaban.
Mau tak mau, kau kutemani mencari si besok.

Mungkin besok, kita akan bertemu si besok..

Sabtu, 08 Februari 2020

#8

Kulangkahkan kaki beratku
Dibalik bayang orang berbaju biru 
Dan langit masih saja kelabu

Ada yang menunggu 
Ada yang pergi terburu-buru
Aku termangu

Hujan oh hujan, datanglah dilain waktu

#

Penggalan Puisi Hujan dari Side Story - Hujan dan Uang Seratusribu

Side Story: Hujan dan Uang Seratusribu

"Boooi woyy cepeten! Keburu ga ujan lagi niih!"
Hujan rintik pun perlahan menderas.

"Boooiiiiiii.. aaahh lama lu!"
Bocah dengan codet di alis kiri itu pun pergi menerobos hujan. Tanpa alas kaki. Membawa dua payung warna-warni, sementara badannya kian kuyup.

#

Boi dengan gelisah meninggalkan rumah dempetnya. Air kali sudah merembes ke batas. Genangan air makin banyak yang datang. Tapi toh boi meninggalkan rumahnya juga. Langkahnya berat. Nek Ati, neneknya belum juga pulang. Biasanya jam segini Nenek harusnya sudah di rumah. Dalam hati Boi berdoa, semoga pecel Nek Ati hari ini laku. Kasian Nek Ati, sebelum subuh harus bangun masak sayur-sayuran yang dibenci Boi dan jalan kaki jauhnya minta ampun ke tempat-tempat yang tak Boi kenal.

Belokan pertama menuju jalan raya, Boi menoleh ke arah rumahnya. Tadi sebelum dia pergi, ia memastikan Acel, adik laki-lakinya yang hanya terpaut satu tahun lebih muda darinya masih ngorok. Boi melapisi tubuh Acel dengan sarung tipis lusuh yang sudah bolong-bolong. Nanti Acel pilek lagi, Acel kan gampang sakit, begitu batin Boi.

Boi pun berlari perlahan ke arah jalan raya yang sudah terlihat di ujung jalan, dengan memegang payung hitam berukuran besar, sementara celana pendeknya sudah cemong-cemong terciprat air coklat.

#

Bapak Boi sudah lama meninggal, saat Acel masih bayi. Ibunya jadi TKW di luar negeri. Mungkin menurutmu, ini sebuah cerita klise yang sudah sering diceritakan berulang-ulang. Tentang keprihatinan. Tentang perjuangan. Tentang anak yatim. Tentang orang miskin. Kasian.

Jaman sekarang banyak orang yang mengobral kemiskinan untuk dijadikan konten. Orang ga mampu sekarang makin banyak yang di ekspos. Semakin kasian makin banyak yang dibantu.

Ya, mungkin memang benar. Ya, mungkin cerita si Boi juga mirip. Ya, mungkin karena realita hidup begitu adanya.

Seperti bulan yang lalu. Biasanya Nek Ati jualan pecel di daerah stasiun kereta api Jakarta pinggir. Pembelinya orang-orang kampung sebelah. Banyak yang utang, banyak juga yang beli sambil nukar dengan minuman botol es teh manis kesukaan Acel. Pokoknya selalu ada yang beli. Pernah sepi sesekali, tapi pas sepi, ada saja orang yang bayar utang. Rejeki anak yatim untuk Boi dan Acel nggak akan kemana, selalu ada, begitu kata Nek Ati.

Nah, ntah karena apa, pas Nek Ati pulang di sore hari kala itu, jualan Nek Ati laku keras. Ludes des des. Ga bersisa satu pun. Kuah kacangnya pun habis. Kerupuknya tinggal sisaan serpihan remah-remah bekas kerupuk kegencet orang-orang yang berdesakan minta dilayani cepat.

Pecel Nek Ati laris manis. Dagangannya laku keras dalam dua jam udah habis, dan yang beli ternyata orang rapi semua, yang kerja di gedung-gedung tinggi. Pas orang kampung tanya sama Mbak cantik rok abu-abu sedungkul nan semlohay, katanya tau dari instagram. Mbaknya sibuk poto-potoin dagangan Nek Ati, lalu potoin pecel Nek Ati sama sebagian tangannya yang mulus dengan berbagai pose, pake hape canggih warna pink. Kata orang kampung, pecel Nek Ati viral. Nek Ati ga tau viral. Boi taunya pecel Nek Ati terkenal gara-gara ada yang masukin fotonya di internet (Boi tau internet dari temen sekolahnya yang suka pamer bawa hape kasih liat video anak-anak sekolahan yang ngerjain orang di jalanan).

Nek Ati bersyukur dengan airmata senang. Acel hepi akhirnya ga makan malem pecel lagi (dan melulu). Tapi ternyata kebahagiaan itu ga bertahan lama. Secepat itu dagangan laku keras, secepat itu juga dagangan ditinggal lari pelanggan.

Esoknya Boi bantuin Nek Ati dagang, karena ini ide Boi. Boi anaknya pinter, pengertian, toplah Boi. Kali ini, Nek Ati jualan dua kali lipat dari hari sebelumnya. Boi bela-belain bolos sekolah, walau Nek Ati udah marah ngelarang. Tapi Boi kekeuh mau bantuin Nek Ati. Kata Boi, Boi mau cek pembeli, biar bisa atur strategi supaya dagangan Nek Ati makin laku.

Dan benar aja, dagangan di hari kedua pun juga laku laris manis. Lagi-lagi Nek Ati nangis senang. Acel udah berani minta jajan sama Nek Ati. Boi bangga dengan idenya. Besok pun Boi mau menerapkan hal itu lagi, mengulang kesuksesannya. Tapi kali ini Nek Ati bener-bener ngelarang. Katanya tugas Boi itu sekolah dan ngaji yang bener, bukan kerja cari duit. Kerja itu urusan Ibu sama Nek Ati (walaupun uang kiriman Ibu selalu terlambat tiap bulan, seperti sekarang-sekarang ini). Boi patuh, sudah begitu sifatnya. Pesan Ibu ga boleh dilanggar, kalo mau masuk surga, sementara Ibu ga ada di dekatnya, Boi harus nurut sama Nek Ati.

Sementara itu Nek Ati berjualan dengan tambahan dagangan setengah dari dagangan biasanya, Boi sekolah dengan rajin. Bikin PR ga pernah telat. Makin sabar ngajarin Acel yang otaknya bebal ga apal-apal kali-kalian dua. Dagangan selalu laku keras, bahkan kata orang kampung, ada artis cakep banget bawa-bawa kamera, pidioin Nek Ati pas layanin pembeli. Wawancarain Nek Ati. Bahkan ngasih duit banyak buat Nek Ati.

Namun seperti yang sudah dibilang diatas... ternyata kebahagiaan itu ga bertahan lama. Nek Ati roboh pas selesai jualan di hari Minggu siang. Orang-orang kampung gotong Nek Ati ke rumah saat Boi belajar ngaji dan Acel mainan robot-robotan bekas dipinggir kali, ngambek ga mau ngaji karena ga apal abata. 

Nek Ati kecapean bawa dagangan yang lebih banyak, sementara Nek Ati udah nenek-nenek. Boi mau bawa Nek Ati ke puskesmas pake kartu canggih berobat gratis yang antrinya lama dan harus bolak-balik lapor ke Ibu Anu Bapak Anu kasih banyak kertas potokopian, tapi Nek Ati nolak. Katanya kalo Boi mau mijetin Nek Ati dan ngasih Nek Ati istirahat, Nek Ati pasti sembuh. Boi lagi-lagi nurut dan harus nurut. Sementara Nek Ati dikasih tidur lama setelah Boi pijet-pijet Nek Ati, Boi mulai beresin rumah yang penuh maenan bekas yang Acel berantakin dan buat makan malem -walaupun Boi cuman bisa buat telor ceplok, beli kecap sasetan dan kerupuk putih kecil gopekan, Acel makannya lahap, ga banyak mauan ini itu. Acel jadi anak baik malam itu.

Besoknya Boi bolos sekolah, setelah anter Acel sekolah (Acel masih takut nyebrang jalan padahal umurnya udah 7 tahun, katanya dia masih takut, keinget terus waktu dia keserempet motor gara-gara ada Bapak yang mau ngejer motor didepannya yang juga nyerempet dia), Boi bergegas pulang buat jaga Nek Ati. Badan Nek Ati hari ini agak panas dari kemarin, dikompresnya Nek Ati pake air dingin dari sisaan es batu yang udah mencair. Boi makin cemas.

Besoknya Nek Ati tak kunjung sembuh. Boi ambil inisiatip. Nek Ati ga mau ke Puskesmas, tapi Nek Ati harus diobatin. Akhirnya Boi ambil seluruh tabungan duit jajanannya. Dibelinya madu botol kecil di indomaret buat Nek Ati. Boi pernah baca di buku perpustakaan sekolah hasil sumbangan kakak-kakak baik hati, katanya madu sama lemon bagus buat tubuh. Tapi Boi ga mampu beli lemon, duit tabungannya udah habis buat beli madu, minta duit sama Nek Ati buat beli lemon pasti bakal dimarahin dan ga dikasih. Nek Ati perhitungan soal duit, katanya daripada buat jajan atau makanan yang mahal-mahal mending ditabung buat Boi dan Acel biar bisa sekolah tinggi. Jadilah Boi minta sama tetangga jeruk nipis. Diolahnya madu dan jeruk nipis itu di air hangat ruam-ruam kuku, lalu disuruhnya Nek Ati minum. Kali ini Boi maksa Nek Ati harus nurut, gantian. Supaya Nek Ati bisa cari duit dan Boi ga bolos sekolah lagi seperti yang Nek Ati bilang dulu. Nek Ati pun nurut, diminumnya air olahan Boi tiga kali sehari seperti resep dokter dan besoknya Nek Ati sembuh. Nek Ati mulai dagang lagi hari ini (kali ini dagangannya ga dilebihkan, sama seperti dagangan waktu diawal). Langkah Nek Ati ringan, diisi dengan doa.. semoga besar nanti Boi bisa jadi Dokter.

Sampailah Nek Ati di tempat biasa ia jualan pecel. Ternyata tempatnya sudah ditempati orang lain yang juga jualan pecel dan sudah penuh sesak sama orang yang desek-desekan ngantri mau beli. Nek Ati bingung, linglung, mau ditaro dimana dagangannya. Kasian sama Nek Ati, Ibu yang lagi bunting besar manggil Nek Ati diam-diam. Ibu itu ngadu, katanya ada orang kampung yang jualan pecel bawa-bawa nama Nek Ati. Soalnya pas hari pertama Nek Ati absen, banyak orang yang dateng nyari pengen beli malah kecewa.

Usut punya usut dari kabar yang terpercaya (begitu kata Ibu Bunting), melihat banyaknya orang berduit yang kecewa, Pak RT pun bertindak. Ia mau kampungnya tetep terkenal (bahkan Pak RT lagi minta dana ke kelurahan buat revitalisasi kampung, supaya jadi kampung wisata, Pak RT mau kampungnya juga diwarna-warnain kayak kampung yang udah tenar itu, kampungnya jadi tempat foto-foto anak muda trus nanti ada tiket masuk, orang kampung bisa jualan oleh-oleh dan turis juga bisa kulineran pecel Nek Ati yang viral), jadilah Pak RT berinisiatip buat Pecel Nek Ati Palsu, agar kampungnya ga ditinggal orang, agar artis-artis tetep ke kampungnya, agar kampungnya juga ikutan viral.

Lalu Pak RT pun nyuruh orang kampung buat belanja beli bahan-bahan pecel, masak pecel, trus besokannya dijual, yang jual Ibunya Pak RT yang udah tua banget dan mulai pikun, yang cuman diem aja disamping dagangan, yang layanin pembeli antek-anteknya Pak RT. Ibunya Pak RT cuman pajangan, supaya orang percaya; "Kasian itu, sodaranya Nek Ati yang gantiin Nek Ati dagang pas Nek Ati sakit, kita mah disini cuman bantuin aja Nenek ini jualan", begitu kata antek-antek Pak RT.

Bermodal kasian dan majang Ibunya Pak RT. Orang-orang pun percaya dan makin banyak yang dateng. Biasanya pecel Nek Ati asli selesai dagang 2 jam setelah buka untuk sarapan, pecel Nek Ati palsu kuat dagang sampe sore jam 5an, karena banyak yang bantuin. Di hari kedua Nek Ati sakit, Pak RT nyayur seratusribuan. Banyak orang yang kasian, bayarnya jadi lebihan. Padahal bumbu pecelnya bumbu instan.

Setelah Ibu bunting selesai cerita, Nek Ati tersenyum berucap syukur;
"Alhamdulillah Gusti Allah kasih rejeki melimpah di kampung ini". Itu balesan Bu buat orang kampung sini dari Allah, karena udah bantu saya kemaren gotong-gotong sampe rumah, saya juga udah diijinin dagang disini. Orang kampung ini mah bae-bae sama saya, balesannya ya ini, banyak yang beli, ada rejeki untuk orang kampung. Saya malah seneng Pak RT kepikiran dagang pake nama saya, saya seneng banget, jualannya juga bisa ampe sore lagi." 

Setelah berucap, Nek Ati pun berlalu. Meninggalkan Ibu Bunting yang tersedu. Ibu Bunting mengelus perutnya, berharap anaknya punya sifat kayak Nek Ati.

Dan perjalanan baru Nek Ati dagang pecel pun dimulai sejak itu. Tak ada tempat tetap. Berjualan dari gang ke gang. Dari pasar ke pasar. Ada segelintir desas-desus dari orang yang beli pecel Nek Ati, katanya pecel Nek Ati itu pecel Nek Ati yang palsu. Tak jarang pecel Nek Ati sering diejek, jualan karena aji mumpung. Bahkan Nek Ati yang saat itu sedang duduk beristirahat sebentar pun diusir, katanya ga boleh mangkal jualan disekitaran kampung yang dulu, biar ga ada gosip kalo ada pecel Nek Ati palsu.

Sampai akhirnya langkah Nek Ati membawanya ke sudut bangunan arah gedung tinggi menjulang megah, berpagar beton. Nek Ati pun memutuskan untuk menjual pecelnya disini. Memang yang beli disini sedikit, Nek Ati paham yang kerja di gedung ini makannya makanan mewah, bukan pecel Nek Ati. Tapi Nek Ati senang disini. Semua orang yang ditemuinya mulai dari Pak penyapu jalan, Bapak kopi keliling dengan sepeda, Ibu jamu gendong, hingga beberapa karyawan gedung ini yang suka beli pecel Nek Ati sangat ramah dan sopan sama Nek Ati. Selalu berucap terima kasih dengan wajah tulus. Walau tak dibuat viral sama orang-orang disini, Nek Ati bahagia.

Namun bisa ditebak kemudian, pemasukan Nek Ati menurun tapi Nek Ati senang, katanya ga perlu deg-degan masak bumbu pecel takut keasinan dan ga enak dimakan sama banyak orang. Beda dengan Nek Ati, Boi belum siap menerima kenyataan. Setelah tau, Boi ngamuk ngajak ribut anak Pak RT gara-gara matok rejeki Nek Ati saat Nek Ati sakit, ga gentleman, pengecut. 

Lalu dibalas sama anaknya Pak RT, "Ini bisnis kata Bapak gue, tuntutan hidup, siapa cepat dia dapat".

Boi lemes pulang dengan gontai setelah mendapati kenyataan menyakitkan dari perkataan anak bertubuh gempal itu. Sama-sama orang miskin aja harus saingan.. Boi menyeka airmatanya dalam diam.

Karena hal itulah, Boi berinisiatip (lagi) untuk bantuin Nek Ati cari duit diam-diam dengan Ojek Payung, atas ajakan Si Codet -anak yang ga naek kelas dan kalo ngaji malah bikin rusuh mukul-mukulin anak pake sarung. Kata Codet, daripada bengong-bengong liatin baskom tadah air hujan di rumahnya yang bocor, mending ikut nyari duit sambil mandi ujan. Lumayan kalo mangkal di depan halte gedung tinggi X, banyak Mbak-mbak berjilbab yang ngasih duitnya gede. Alhasilnya Boi mengiyakan ajakan Codet. Nekat meninggalkan adiknya yang paling dia sayang sendirian di rumah, nggak nungguin Nek Ati pulang, ngelanggar perintah Nek Ati untuk pertama kalinya.

#

Codet udah dapet pelanggan, dia berjalan nguntilin Mbak berjilbab krem ke arah halte busway yang keren banget. Boi ngintip dari jauh, Codet dikasih duit sepuluh ribu, Codet girangnya minta ampun sampe-sampe dia salim ke Mbaknya, padahal Codet ga pernah salim ke Pak Ustad.

Codet pun mengibar-ngibarkan duit sepuluh ribu ke arah Boi yang menghampirinya, Codet tak peduli uangnya kini sudah kuyu terkena air hujan; "Boi lu lama amat! Nih liat, gue dapet ceban. Padahal nganter deket doang, dari gedung X ke halte." Codet memamerkan muka bangganya.

"Nih ya, lu kalo mau dapet banyak, tampang lu harus kasian Boi. Abis itu bilang, duitnya buat sekolah. Trus pas udah selese jangan lupa lu salim" Codet memberi petuah singkat, lalu ngeluyur pergi dengan semangat ninggalin Boi yang masih berdiri di tengah hujan dan ditempat asing -ditempat yang bukan untuk dirinya.

Dulu sebelum Ibu pergi jadi TKW, Ibu pernah bilang ke Boi..
"Jangan pernah jadi orang minta-minta. Kalaupun udah susah banget hidup dan ga ada apapun untuk dimakan, kamu harus kerja untuk dapetin makan. Kerja yang bener, bukan malakin orang apalagi nyuri, inget dosanya yang udah dibilang Pak Ustad. Jangan bohong, nanti kamu bakal dibohongin sama orang."

Kalimat itu terngiang sampai hari ini di ingatan Boi. Boi nggak mungkin ngelanggar janjinya ke Ibu, karena hari ini Boi udah ngelanggar janjinya ke Nek Ati.

"Dek.. Deeek! Ojek Payuuuung! Halooo.. Deek!"

Boi menoleh, dilihatnya pria necis yang kemayu. Boi cuman punya satu payung, yang ia genggam saat ini. Berat hatinya untuk berjalan ke arah pria itu dan menyerahkan payungnya untuk mendapat imbalan uang banyak. Besok Boi harus sekolah, Boi ada ujian besok, kalo sampe sakit dan ujiannya jelek, Nek Ati dan Ibu pasti sedih. Tugas Boi kan belajar bukan kerja cari duit..

"Deeeekk... Ojek Payung gaa?!"

Disinilah Boi. Berjalan menunduk mengikuti pria necis kemayu ini dari belakang, dibawah guyuran hujan deras. Dulu mandi hujan jadi hal yang ditunggu-tunggu Boi, Boi menyambutnya dengan sukacita. Tapi tidak sekarang. 

"Nih Dek, makasi ya!" Pria itu berlalu sambil menepuk-nepuk celananya yang terkena sedikit cipratan air hujan. Boi melihat uang duaribu lecek di genggaman tangannya. Cuman duaribu...

"Dek, ojek payung! Kesana ya."

Begitulah. Boi mendapat pelanggan baru. Mbak berjilbab pendiam, Ibu-ibu jutek, Bapak-Bapak yang maenan hape, Mbak berambut pendek bersama temannya yang berdempetan dipayungnya, dan yang lainnya yang tak mau Boi ingat-ingat. Ia hanya bolak balik kesana kemari. Hujan-hujanan demi uang lecek, tak ada uang ceban seperti janji Codet.

"Ehh Boi.. mau kemana lu?" Codet berteriak dari jauh. Tak digubrisnya Codet. Boi hanya ingin pulang.. kembali ke rumah. Melihat Acel ngorok. Menunggu Nek Ati pulang.

"Dek, ojek payung? Bisa tolong anter saya kesana?" Suara yang berbeda. Nada yang ramah. 

"Maaf Pak, saya mau pulang" Boi menjawab pelan sambil tengadah ke arah sosok tegap bersetelan jas hitam dan wangi parfum lelaki jantan seperti di iklan-iklan.

"Oh gitu ya.. Hm.. Tapi bisa tolong antar sebentar saja kesana, Dek? Sebentar saja. Kamu nanti juga pakai payung sama saya, nggak perlu ujan-ujanan gitu" Boi bimbang. Bapak itu tersenyum. 

Yah.. ini terakhir. Kali ini terakhir. Boi menyerahkan payungnya ke Bapak itu. 

"Wah terima kasih banyak ya, Dek. Kamu penyelamat saya!" Bapak itu tersenyum kian lebar.

"Saya ga usah payungan Pak, Bapak aja" Boi menolak ketika payungnya diarahkan ke Boi juga.

"Gapapa, Dek. Nanti kamu sakit lho. Kamu ga sekolah besok?" Bapak itu pun memulai percakapannya dengan Boi. Boi senang, baru kali ini ada orang yang benar-benar menganggap ia ada. Apalagi menanyakan perihal sekolahnya.

Dibawah payung ini, Bapak dan Boi bertukar cerita. Tentang Boi yang ga suka hujan-hujan padahal besok ia ujian. Tentang Bapak yang lupa bawa payung dan ga bisa hujan-hujanan karena ia mau rapat. 

"Nah, sudah sampai. Terima kasih banyak ya, Dek!" Bapak ramah itu mengulurkan payungnya ke Boi.

"Namamu siapa, Dek? Biar besok saya telfon sekolahnya kalau kamu sakit, kamu bisa ikut ujian susulan" Kelakar Bapak itu menghangatkan Boi yang sudah kedinginan karena terlalu lama kena hujan.

"Nama saya Boi, Pak" Ucap Boi bangga.

"Wah nama yang keren. Jangan lupa, sampai rumah mandi air hangat, dan minum teh hangat ya. Belajar buat besok ujian." Bapak menepuk kepala Boi.

"Siap Pak!" Boi berkata sambil memberi hormat, diikuti gelak tawa Bapak.

"Ahh.. saya jadi keinget cucunya si Nenek. Tiap saya sarapan di tempat Nenek, Beliau selalu cerita tentang cucunya yang pintar tapi jail sama kayak kamu nih," Boi cengengesan. 

"Yah, semoga Nenek ga kenapa-kenapa ya. Saya tadi baru dapat kabar dari teman, Nenek tadi pagi jatuh di depan gedung ini. Kondisinya kritis, beberapa teman ada yang jaga di rumah sakit. Sudah sering bertemu Nenek, tapi kita nggak tau keluarganya, nggak tau mau memberi kabar kemana..." Bapak menghela nafas berat, sementara Boi mengernyit bingung.

"Hahaha, kan saya jadi curhat" Bapak itu tergelak namun ekspresinya khawatir tersisa di raut mukanya.

"Nih, buat kamu. Di tabung ya, Dek. Dibeliin buku biar kamu makin pinter" Bapak menyodorkan uang seratus ribu. Boi kaget.

"Pak.. banyak banget!" Boi menerimanya ragu-ragu.

"Nggak papa, ambil aja, Boi. Ini rejeki kamu. Kalo kata Nenek, ini balasan. Kamu udah baik sama saya. Saya berterima kasih banget kamu udah mau anter saya padahal kamu tadi mau pulang."

"Hoooaaaaaahh! Makasi banyak banyak, Pak." Boi girang minta ampun, dipegangnya uang seratusribu dengan erat di genggaman tangannya, sementara tangan yang lain sibuk merangkul payung basah.

Dan tanpa salim, Boi pergi tergesa-gesa menuju rumah. Ia akan belikan Nek Ati dan Acel rendang untuk makan malam. Sisanya, ia berjanji seperti kata Bapak itu, akan di tabung untuk beli buku. Hari ini penuh berkah, Bu.. seperti kata Ibu dulu bilang, Hujan selalu memberikan berkah.

#

Sementara dirumah, Acel masih terlelap, ia tidur meringkuk dengan sarung tipis lusuh bolong-bolong. Disebelahnya ada amplop, berisi beberapa lembar uang berwarna merah. Tadi ada antek-antek Pak RT datang menyelinap masuk, pintu rumah tak dikunci. Diamplopnya tertulis:
"Untuk Nek Ati. Dari Pak RT kampung sebelah. Sedikit berbagi rejeki dari hasil jualan pecel dengan nama Nek Ati"

About Me

Foto Saya
u3
opacarophile, librocubicularist
Lihat profil lengkapku