"Melukis Senja di kala Fajar"
Begitu judul yang kau sematkan pada hari sabtu berpuisi kemarin. Tak ada yang curiga dari mana kau dapatkan rangkaian anggun kalimat itu. Tak ada satu pun.
Namun, aku tau. Karena aku duduk di tempat persembunyianku, mencari-cari senja. Memandang dalam diam ke arah bayang kaki senja dengan ragu. Awalnya ku tak terusik. Ahh, mungkin benar ini senja, begitu pikirku. Aku yakin, senja kan ada di Barat dan sekarang aku ada di Barat.
"Kau tiup kebencian pagi dalam nadi yang jingga."
Kau ucapkan kalimat itu. Berhasil membuatku menoleh ke arahmu. Kemudian berjingkat-jingkat masuk ke pintumu. Mengintip isi fikirmu.
"Katanya kau Senja, tapi kenapa datang saat Fajar?"
Lagi, kalimat itu menggema hampa. Membuatku makin gelisah tak keruan. Apa sih yang kau fikirkan?
Satu menit. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Dan menit-menit berikutnya kamu tetap bergeming. Kaku serupa pohon tak bernyawa disebelahmu.
Ahh, tak ada lanjutan. Barangkali kau hanya sekedar mengusir bosan bukan buntu. Aku bersiap melangkah pergi saat kau mulai mencari-cariku. Tok tok. Kau mengetuk pintu milikmu sendiri? Aneh. Kan aku yang tamu disini -tamu yang tak diundang lebih tepatnya, dan kau tuan rumah. Mengapa mengetuk pintu di rumah sendiri seperti tamu?
Lalu ketukan terhenti. Ahh mungkin suara tadi hanya ilusi saja. Tak lain dan tak bukan hanya rekaan. Oke, kali ini aku akan pergi - dan harus benar-benar pergi.
Ku sentuh dinding-dinding rapuh ini sepanjang jalan menuju gagang pintu. Gelap dan pengap. Saat ingin menggapainya, tapi ia malah pergi menjauh. Lagi, ini mungkin hanya ilusi. Aku berjalan cepat, gagang pintu semakin menjauh. Ku berlari, gagang pintu makin mengecil di kejauhan. Aku panik! Hey hey! Kenapa pergi?!
"Kenapa datang tanpa mengetuk?"
Kau berbicara padaku? Aku gagap. Tak ada satu katapun yang terucap. Lagi, ini mungkin hanya ilusi.
"Terketuk ku ketuk. Terperangkap. Kau ku tangkap."
Hah! Diriku kaku. Tiap tarikan nafas, tubuhku mati rasa. Aku sesak. Aku ingin pergi. Aku tak ingin disini.
"Kau datang menghidangkan wangi indahmu untuk Sang Fajar hirup. Titah sabda Sang Fajar kau abaikan."
Senja tak lagi tampak, ia memudar hingga menjadi kelam, terganti oleh fajar dengan kilauan cahaya yang datang perlahan.
"Abadilah dirimu. Ku kenang kau di kala Fajar dalam guratan penjara kanvas, wahai Senja."
Lalu tak ada lagi kata. Tak ada lagi kalimat.
0 comments:
Posting Komentar