Jumat, 06 Desember 2019

Side Story: Midnight Mood

Gemercik rintik hujan nan menggelitik.. Ia masuk tak berucap.
Setengah tengadah, kulihat lagi.
Siluetnya bergantian berdentum tak keruan, menyuarakan dengung yang asing.

Ada makna yang mengendap-endap.
Ingin sembunyi, tak ingin diungkap.

Selayaknya romantisme senja dan debur ombak yang perlahan menggoyangkan kapal..
Genggam yang saling bertautan..
Mentari yang akan tenggelam..
Lautan yang membiru..

Rasa ingin kembali..
Dan
Rasa ingin tinggal..

#

Malam datang.. diiringi suara hujan.
Melihat kembali kenangan yang lalu diwaktu senja dari pulau paling menawan.
Sejumput emosi terkunci pada foto ini. Diambil dengan kamera disposable yang teristimewa.
Rasa ini.. terwakilkan dengan lagu "Time Flies" - Lykke Li.

Thank you dear Labuan Bajo..
Labuan tempat ku berlabuh sementara..
You make my 2019 such a wonderful journey.. I couldn't ask for more..

#


So, fingers crossed, my time is coming now
Don't you go, my baby begs me so
Time will fly, upon my baby's back..
Time will fly, upon my baby's back..

"Time Flies" - Lykke Li

Side Story: Senja

Mungkin aku akan memilih nama Senja atau Biru, Bumi juga menarik. Tapi namaku hanya terdiri dari satu huruf saja. Katanya biar gampang untuk diingat. Jadi namaku adalah J.

Hari ini tak banyak yang kulakukan. Hanya mengitari jalanan di perumahan di pagi hari dan duduk-duduk di taman saat siang hari. Menjelang sore, sudah jadi kewajiban untukku mencari matahari tenggelam. Setiap hari di kota ini, aku bisa menemukan senja yang indah di sudut-sudut yang berbeda.

Seminggu yang lalu saat aku pergi berdua dengan partnerku (yap, kami tinggal serumah), aku menemukan senja dari balik gedung bertingkat di taman bukit atas. Kami mengaguminya dalam diam. Jemari kami bertautan. Senja tersunyi yang pernah ku rasakan.

Lalu, tiga hari yang lalu aku menemukan senja lainnya di sudut tempat aku makan kebab terenak di daerah sini (tak jauh dari apartement tempat kami tinggal). Mentari bundar itu tampak jelas, semburat warna kemerahan memulas langit biru kelabu. Tak ada awan, sungguh senja yang memesona!

Oya, aku juga pernah mendapatkan senja yang sederhana. Senja yang mempertemukanku dengan partnerku..

*

Sore itu hujan, banyak orang yang masih menunggu di depan toko buku ini. Sesak dan berhimpitan. Aku baru sadar, ternyata semua orang tak suka basah, meskipun mereka menyukai hujan. Aku sama seperti mereka sebenarnya. Tak suka tubuhku basah, apalagi saat titik-titik air itu menyentuh kulitku. Ada rasa gatal yang meskipun digaruk tak akan pergi rasa gatalnya.

Nah, kembali di sore itu..
Toko buku tempat bernaung ini masih penuh sesak dan tampaknya tak satu orangpun mau beranjak dari tempat ini meskipun hujan telah berubah menjadi rintik gerimis. Dengan berat hati aku memutuskan, mungkin aku duluan yang harus pergi. Setauku, biasanya orang pertama yang mengambil tindakan akan diikuti oleh orang selanjutnya. Well, aku berkorban. Melapangkan dada dan meyakinkan kulitku, bahwa semua akan baik-baik saja saat nanti akan bersentuhan dengan hujan.

Akupun melangkah. Melompat ke genangan air, dan terus berjalan menjauh dari toko buku itu. Di langkah ke dua belas aku menengok kebelakang, mungkin ada yang mengikutiku untuk berbasah-basahan di rintik hujan ini. Namun... yang kudapatkan hanya tatapan tajam penuh kebingungan. Di baris kedua kerumunan itu malah ada yang berbisik-bisik sambil melihat ke arahku. Yah... tidak semua orang pertama yang melakukan tindakan akan diikuti orang selanjutnya. Contoh dikasusku, agaknya menjadi aneh jika mereka mengikutiku.

Aku meneruskan langkah kembali. Berjalan cepat, bahkan hampir berlari. Menerobos beberapa orang yang berpayung, bersinggungan dengan mereka -berharap sisi payungnya juga melindungiku- sambil tersenyum, balasannya mereka tetap acuh lalu bergegas pergi. Aku kembali melapangkan dada, lalu mengambil jalan menuju gang demi gang sempit.

Ini mungkin menjadi gang yang terpanjang yang pernah ku lewati. Gang ‌ini seukuran tubuh orang dewasa, sisi kiri kanannya sangat tinggi, dindingnya bercat putih kelabu kotor, dan saat tengadah, aku bisa melihat rintik demi rintik hujan yang jatuh dengan sangat jelas melewati ceruk dinding itu. Wah, tinggi sekali!

Setiap aku melompat dari genangan satu ke genangan lain, air tersibak dan menggema. Ada nuansa menyeramkan yang menenangkan. Kian lama, sinar di gang ini semakin gelap, tanda bahwa senja semakin mendekat. Aku mempercepat langkah, berlari menuju ujung akhir gang ini.

Sambil berlari aku memikirkan banyak hal, well itu juga menjadi salah satu kebiasaanku -memikirkan banyak hal. Salah satunya, dimana aku harus tinggal nanti malam, setelah kekacauan yang aku buat, sudah jelas partnerku tak akan mau tinggal lagi bersamaku. Jadi aku memutuskan untuk pergi lebih dulu, sebelum dia yang pergi.

Keputusan yang berat jika kamu ingin bergantung kepada seseorang, meskipun kamu tau kamu seorang yang mandiri. Well, bergantung adalah ungkapan yang tepat menurutku, ketika kamu mengambil orang asing dihidupmu untuk terus bersama dengannya. Bagaimana kamu bisa bertahan dengan orang yang benar-benar asing yang bukan dari keluargamu ataupun orang terdekatmu? Lalu kamu mau-maunya ingin hidup bersamanya disisa umur hidupmu! Sebuah pemikiran yang mengerikan.

Pemikiran pernikahan saja bagiku sudah cukup mengerikan, apalagi dengan ungkapan bergantung kepada orang lain. Sayangnya, di beberapa daerahku hal ini sudah menjadi tradisi. Tradisi yang harus diikuti. Pilihanmu hanya dua ketika kamu akan menginjak usia dewasa, kamu menikah atau kamu bergantung dengan orang lain.

Padahal aku sangat menyukai pilihan ketiga: penjadi pengelana. Pilihan tabu yang pantang dibicarakan, pilihan yang menjadi rahasia umum, pilihan terlarang. Pilihan ketiga ini, hanya hadir di pemikiran para pemberontak. Aku pernah melihat salah satu orang yang memilih pilihan ini, ia tinggal di rumah sebelahku.

Waktu subuh menjelang fajar, satu rumah mereka ribut sekali. Berteriak saling mencaci, barang-barang hancur berantakan dan berujung pada dia yang pergi meninggalkan rumah. Tak ada isak airmata kepergian, hanya ada tatapan amarah dan sumpah serapah. Mungkin berat bagi keluarganya, mengingat dia adalah seorang perempuan. Pilihan menjadi semakin berat jika kamu adalah seorang perempuan. Wanita punya beban untuk melanjutkan garis keturunan, ntah ia harus menikah ataupun nantinya akan bergantung pada orang lain. See? Kamu bisa merasakannya.. Bagaimana kasih bisa berubah menjadi dengki, jika menyangkut memilih keputusan. Keputusan yang tak main-main.

Karena pertanyaan mengenai memilih ini menjadi hal yang terpenting, maka aku pernah berkonsultasi dengan nenekku. Nenekku adalah tetua terhormat didaerahku dulu. Di daerahku pemilihan tetua terhormat harus dari seorang perempuan, lebih tepatnya seorang perempuan tua yang sudah pernah banyak pengalaman dengan memilih pilihan pertama dan pilihan kedua.

Alih-alih aku bertanya mengenai pilihan apa yang seharusnya aku pilih, aku malah bertanya pada beliau: Mengapa harus memilih? Apa memilih menjadi harus sebegitu pentingnya dalam hidup seseorang?

Kamu tau, apa jawaban Beliau? Dia hanya memberikan jawabannya dengan senyuman sembari membelai lembut pipiku. Namun aku pantang menyerah, aku sudah diajari sebagai seorang Alpa (meskipun aku anak bungsu) oleh Ayah. Aku harus mendapatkan jawabannya. Aku merajuk, memaksa agar ia memberikanku jawaban. Ku hujani Beliau dengan banyak ciuman.

"Setiap keputusan yang kamu buat akan mempengaruhi masa depanmu, Nak, makanya kamu harus memilih. Jika kamu tidak memilih, bagaimana masa depanmu nanti?"

"Mungkin aku nggak butuh masa depan"

"Semua orang butuh masa depan" Lagi-lagi dia tersenyum. Menutup percakapan singkat kami masih sambil membelai pipiku.

Ahh, Nenek.. Sampai detik ini pun aku selalu merindukannya. Wanita paling bijak dan paling lembut dari semua wanita yang pernah ku temui. Wanita yang selalu menjadi orang pertama yang memasang badannya untuk membelaku. Semua kenakalanku, semua jalan yang bertentangan bahkan kasus perjodohan dengan wanita paling cantik di daerahku yang ku tolak.. (hey, aku masih kecil saat itu!) Nenek selalu disana, didepanku untuk memberikan dukungan penuh untukku.

Tak terasa, jalan didepan tinggal beberapa langkah lagi. Aku bisa merasakan semilir udara segar yang perlahan menerobos gang sempit dan pengap ini.

Aku menyipit, sangat terang didepan. Tiga langkah lagi. Dua langkah lagi. Selangkah lagi.

Dan disinilah aku berdiri...

Tak seperti yang ku harapkan. Jalan utama ini lebih terang. Banyak cahaya. Lampu-lampu mulai dihidupkan, padahal senja belum tenggelam. Namun, kota ini tak sebising kota dibelakang, di tempatku dulu. Saat ini aku hanya melihat satu bus menunggu di halte, mobil biru yang berlalu perlahan, dan satu truk yang menunggu dibalik lampu lalu lintas yang menyala merah. Selebihnya, banyak orang yang lalu lalang. Dari pancaran matanya mereka lebih bersahabat. Dan benar saja! Ketika aku sedang berjalan di trotoar sini, saat aku melempar senyum, mereka membalasnya. Oh wow!

Aku kini bisa berjalan tenang tanpa perlu tergesa, karena hujan telah lama pergi, begitu juga gerimis. Hanya ada langit kelabu dan angin sepoi. Masih ada beberapa menit lagi menuju senja. Aku mencari dan memilih-milih tempat mana yang lebih tenang untuk menikmati senja pertamaku di kota ini.

Langkahku menuju sebuah taman berukuran kecil. Letaknya jauh di seberang dari gang aku keluar tadi. Taman ini dikelilingi tanaman rambat berwarna ungu cantik. Ada satu pohon besar yang kokoh di pusat taman ini. Ada tiga bangku ukuran sedang yang kosong dan kuyup. Dan sepi. Jauh dari jalan utama.

Aku pun memilih duduk di bangku yang menghadap pohon besar itu, berharap senja muncul dari balik dahan dan ranting pohon yang kokoh itu. Aku menunggu.. dan menunggu.. Melihat hampanya taman ini.. Hanya ada jejak hujan. Basah dimana-mana.

Semakin lama menunggu, semakin jemu. Eh, sebentar.. Harusnya saat ini sudah senja! Aku tau. Aku pasti tidak salah! Aku celingukan ke arah pohon. Tak ada senja disana. Aku bangun dari bangku dan berjalan ke arah pohon itu. Aku tersentak menghentikan langkah. Terpaku dengan pemandangan dibawahku. Mentari bulat bergetar pelan di genangan besar di depanku. Warna jingga pucat memudar seiring datangnya gemerlap warna pelangi. Indah.. melebihi indah, sangat amat indah. Jika ada kata-kata yang melebihi kata indah, mungkin kata itu cocok untuk senja ini. Pelangi di waktu senja.. Bagaimana bisa?

Saat aku ingin menoleh kebelakang, ke arah senja yang asli, pandanganku terhalang oleh dia, dia yang juga sama-sama sedang memandang senja di genangan besar ini. Pandangan matanya sendu namun terpukau, sulit mendeskripsikannya. Lalu.. mata kami bertemu. Dan dia melempar senyum pertama (biasanya selalu aku yang menjadi pertama yang melempar senyum). Rambut panjangnya tergerai tertiup angin sepoi, pantulan warna pelangi itu menerobos masuk melalui celah rambutnya. Wanita cantik. Wanita pelangi senja.

"Suka senja juga?" Begitu katanya.

Dan senjaku pun terbalik di kota ini.

**

Aku kini sudah sampai di gedung tertinggi kota ini.

Well, seperti kamu tau, aku mengikuti dia, yang sekarang menjadi partner ku. Kota baru, orang baru, hidup baru. Ahh, aku suka kalimat itu! Jadi, begitulah hidup (baru)ku dimulai. Menutup semua pintu dari masa lalu. Termasuk menutup gang sempit penghubung kota tempat aku masuk pertama ke kota ini. Aku menutupnya dengan tumpukan balok-balok yang aku kumpulkan dengan rajin lima hari berturut-turut. Yah, walaupun tak menutup tinggi, tapi bagiku cukup untuk menutup jauh ke masa lalu. Dan.. hari ini adalah hari ke seratus dua belas hari aku berada disini.

Dia -sang wanita pelangi senja, bukan tipe wanita yang suka mengatur dan cerewet. Dia bahkan memberiku banyak ruang gerak. Saat bersamanya, aku juga bisa mandiri. Masing-masing dari kami mempunyai ruang tersendiri saat kami menginginkan waktu sendiri. Dan dia sangat menghormatiku apa adanya.  Sifat yang yang tak pernah aku dapatkan dari partnerku yang sudah-sudah. Dia istimewa.

Hup! Lompatan mulus. Aku melompat dari satu balok ke balok usang lainnya yang  terbengkalai di atas atap gedung ini. Well, sebenarnya aku berbuat curang. Kalau kata partnerku, aku boleh kesini melihat senja hanya saat energi positifku terserap habis tak tersisa. Kalau katanya lagi, tempat ini 'tempat suci penyembuhan'.

Walaupun aku tak setuju dengan namanya, karena namanya tidak menunjukkan hal tersebut. Pernah dia mengajakku kesini untuk melihat senja bersama. Tapi, menit demi menit sebelum dan sesudah senja pergi, dia hanya menangis dan menangis. Aku tak ingin memaksanya bercerita, memberitahukan semua rahasianya padaku. Aku ingin dia nyaman dan percaya di masa penjajakan ini. Mungkin dia nanti akan bercerita. Aku percaya.

Satu langkah besar lagi, aku harus memanjat di penghalang balok terbesar usang. Yass! Aku mengatur nafas. Well, inilah kota terindah.. dari titik tertinggi di kota ini..

Tak sia-sia aku berbuat curang, mengikuti nuraniku untuk datang kesini melihat senja disini. Aku yakin senja hari ini akan menakjubkan dan memukau.. Langit bersih, senyap.. dan..

Eh? Sebentar.. Lho? Kenapa ada dia?!

Aku mendekat perlahan, dan dengan sekuat tenaga tidak berisik agar tidak mengagetkan dia. Dia disana duduk di batas, kakinya menjuntai kebawah. Wanita pemberani tak takut ketinggian (bayangkan aku mengucapkan kalimat itu dengan nada bangga ya!)

Saat ku sudah sampai di sampingnya, dia bergeming. Aku mencoba duduk dengan jarak teraman tak terlalu dekat dengannya. Dia masih juga terdiam. Ini bukan wanita yang ku kenal, rasanya aku bisa merasakan aura pengap sesak dari tubuhnya yang kian lama kian menguap. Meskipun setiap hari dia selalu begitu -wanita murung yang tak ceria.

Ku beranikan diri untuk duduk lebih mendekat.. menyentuh ujung jari kelingking tangannya dengan jariku. Sudut bibir itu tertarik ke atas sedikit. Dia bisa merasakanku. Aku tersenyum puas.

"Butuh menyerap energi positif?" Dia menolehku sekilas sambil tersenyum. Ahh andai dia bisa selalu tersenyum seperti itu..

Belum sempat aku menjawab dan membuka mulut, dia sudah melanjutkan kata-katanya. "Hari ini bukan hariku, J. Shit happen today. Sorry ga ajak kamu kesini. Tapi nggak berarti aku pengen sendirian sekarang. Mmmm.. menyenangkan kamu disini, J" Dia menoleh lagi ke arahku. Menyentuh tanganku perlahan. Dan menariknya..

Setelah menghela nafas panjang dia melanjutkan "Dia pasti happy kalau ketemu kamu" Ada jeda panjang. Ya, aku tau.. Dia yang dimaksud adalah mantan pacarnya.

"J.. kayaknya aku udah siap. Mungkin, sekarang saatnya aku kasih tau tiga rahasiaku sama kamu di hari ini." Dia mengedipkan sebelah matanya. Mataku berbinar. Ahh, akhirnya...

"Masih ada beberapa menit lagi menuju senja. Senja yang kita suka, J." Dia tersenyum lebar, tapi aku bisa melihat butiran airmata yang mengenang di pelupuk matanya.  Aku ingin menyela, menyentuhnya, bahkan memeluknya.

"Its okay, J" Dia menghapus buliran airmata yang terjatuh itu. Aku terdiam mematung. Mungkin dia butuh keberanian untuk memberitahukan rahasianya padaku. Wanita selalu ingin didengar. Oke, aku menarik nafas panjang dan dalam.

"Well, oke fokus. Aku akan bilang sekarang. Rahasia pertama.." Dia mengangkat alisnya. Aku menunggu.

"Aku ga bisa melihat gemerlap indahnya warna senja yang kamu lihat, J.. Kata dia, warna senja adalah warna favoritnya. Aku berusaha mencari dan mencari cara supaya aku bisa melihat senja, bahkan setelah kepergiannya. Seratus dua belas hari aku bolakbalik ketemu dokter gimana caranya aku bisa lihat senja. Kamu tau, J.. Bagiku, saat senja aku bisa merasakannya lebih dekat denganku. Saat senja aku bisa bersamanya.." Titik airmata itu kian menderas.

Andai aku bisa mencintai seperti dia. Cinta yang selama ini tak pernah aku rasakan. Mantan pacarnya sangat beruntung mendapatkannya.
Dia sama sepertiku, seorang Alpha (meskipun dia wanita, menurutku dia cocok menjadi Alpha) yang kuat. Sendirian di kota ini. Pergi meninggalkan masa lalunya (dulu kita dari kota yang sama -mengherankan kenapa aku tak pernah bertemu dengannya ya). Mandiri dan cantik. Ahh, tipe yang selalu menjadi pujaan.

"Dulu, dia selalu membawaku kesini untuk melihat senja yang menurutnya senja paling bagus, J. Senja yang nggak pernah bisa aku lihat." Dia menghembuskan nafas beratnya. Aku ingin memeluknya sekarang.

"Well, hahaha, jadi melo yah, J." Dia tertawa getir sambil menyentuh tanganku sekilas. "Aku lanjutin rahasia kedua. Dan ini tentang kamu!" Aku kaget, reflek langsung duduk menghadap dia.

"Nama dia juga berawalan J. Arti namanya dari bahasa latin adalah pelengkap. Bagiku, dia pelengkap buat hidupku saat semua orang pergi ninggalin aku. Well, dia bahkan ga tau kalau arti namanya pelengkap, J" Dia kembali tertawa getir.

"Bahkan saat detik ini, ribuan detik saat dia udah pergi setelah kecelakaan itu.. Bagiku dia tetap pelengkap hidupku". Dia melamun jauh, tak mampu melanjutkan kata. Aku mencoba menyentuhnya, namun dia menarik tangannya.

"Satu menit, J. Aku butuh satu menit tambahan untuk kembali disaat itu. Aku di depannya J.. Saat dia buru-buru turun dari apartement dan nyebrang dengan sembrono dan mobil keparat it...." Dia menarik nafas. Dia menoleh ke arahku. "Sorry" ucapnya pelan.

"Well, ini bukan tentang dia. Ini tentang kamu" Dia mencolek tanganku sambil tersenyum.

"Aku manggil kamu J, kepanjangannya Jacq, dari bahasa prancis. Keren kan?" Dia memainkan alisnya naik turun, aku tertawa.

"Artinya orang yang menggantikan. Aku senang ketemu kamu. Bagiku, kamu seperti dia.. Kamu pengganti dia yang berwujud saat ini. Kamu dan dia suka senja. Kamu dan dia suka kebab. Kamu dan dia selalu kasih aku ruang gerak. Dan kamu.. pasti selalu mendukung tiap keputusanku kan?" Dia mengelus punggungku. Aku mengurutkan alisku, tak mengerti apa maksudnya.

"Rahasia terakhirku.. kamu harus mendukung keputusanku... Sudah senja ya?" Dia berdiri tegap. Dan semburat warna jingga memenuhi langit. Mentari bulat itu tertutup awan separuh, yang padahal tadi ketika aku datang, tak ada awan.

"Ya, sudah senja.." Satu-satunya jawaban yang aku keluarkan dari perbincangan kami. Jawaban singkat yang tidak dia mengerti. Dia hanya menoleh dan tersenyum ke arahku, seperti biasa yang dia lakukan kepadaku. Tersenyum, menyentuh, dan menatap dalam mataku.

Dia kembali menatap ke depan, menutup matanya. Angin memainkan rambut panjangnya yang terurai. Berlatar langit jingga yang kian memerah dan mentari separuh yang kian dilahap awan dan mulai menghilang. Senja sebentar lagi akan pergi...

"J.. Cari aku saat nanti kita bertemu lagi. Aku selalu disini, menanti senja. Namaku Senja. Panggil aku jika nanti kita bertemu" Dia berkata parau. Tersenyum lalu menjatuhkan dirinya. Membiarkan dirinya jatuh terbawa angin. Terjun kian dalam menuju kegelapan dibawah.

Aku hanya bisa berteriak kencang sekuat tenaga.. terus mencari pertolongan. Aku melihatnya jatuh didepan mataku.. ia jatuh dengan mata tertutup sambil mendekap kedua tangannya didada, terlihat sangat damai.

Masih berteriak.. terus berteriak.. Namun tak ada yang bisa mengerti bahasaku, bahasa asing yang bagi orang seperti Senja tidak akan mengerti. Bahkan, akupun tak bisa mencegah saat ia menjatuhkan dirinya. Apa yang bisa kulakukan sebagai seorang makhluk berbulu jingga seperti senja?

Tahun demi tahun yang telah membentuk pemikiranku bahwa aku sama seperti Senja, aku juga makhluk yang pantas disebut "orang"... namun.. aku tau aku berbeda. Pendapat ini seketika runtuh, hancur lebur berantakan.

Perasaanku campur aduk. Aku marah, aku sedih, aku menyesal, aku kecewa..
Banyak kematian yang telah aku saksikan.. Namun tak ada yang sepedih ini..
Aku ingin Senja.. dan aku ingin partnerku yang sebelum Senja..
Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tak mampu menanggung semua perasaan ini. Rasa yang menyengat.. Apa yang harus kulakukan sekarang..

 © by B.E. Kazmarski

.
.
.

Di ujung sana matahari menghilang dilahap awan tebal. Warna jingga pucatnya memudar. Kematian berjingkat.. melahap Senja yang berbisik pelan.. Sebuah kata yang terkunci. Kata asing. Terbawa jauh, membubung menuju malam..

Sabtu, 20 Juli 2019

Side Story: Midnight sun di Kiruna

Oh, midnight sun... take me back. Take me to your warm arms. Oh, midnight sun... i want to feel you again.

*

Kiruna.

Tempat pelarian sempurna setelah penat dengan hiruk pikuk dunia. Memanjangkan langkah yang teramat jauh untuk meninggalkan kota yang bosan dengan penduduknya yang dua kali lipat lebih membosankan.

Ketika pantai bukan lagi menjadi daya tarik untuk menyepi... matanya telah lelah melihat biru.

Ia ingin pergi ke Kiruna. Tempat khayalannya yang tak seharusnya ada. Tempat seratus hari tanpa kegelapan malam. Ia hanya ingin melihat matahari menggantung sepanjang hari. Tanpa terdistraksi dengan warna jingga saat senja atau memerah saat terbit.

Ia bahkan bermimpi kesana. Di hari itu ia menikmati sang mentari tanpa melakukan apapun. Duduk-duduk di atas pegunungan yang tadi ia lelah daki. Esok harinya menikmati sang mentari sambil mencelupkan kakinya di danau yang memantulkan cermin sang mentari cantik itu. Lusa ia akan menikmati sang mentari saat berkendara seorang diri dengan mobil atap terbuka, rambut terurai, dress putih bunga matahari, dan sneakersnya. Masih ada sisa sembilan puluh tujuh hari lainnya menatap sang mentari tanpa diganggu oleh kekelaman malam.

Ia tak membenci gemintang ataupun bulan separuh yang membuatnya terlena. Ia hanya ingin merasakan sesuatu yang baru. Melihat yang baru dan mendapatkan kenangan indah yang baru... Agar kenangan yang lama bisa tergantikan oleh kenangan indah yang baru tersebut.

Kemudian ia menyampaikan niatnya pada dirinya yang lain. Ia ingin lebih dulu berdamai dengan dirinya yang lain, agar bisa lebih meresapi rasa suka cita saat berada di Kiruna tanpa harus ribut-ribut. Dan tentu saja dirinya yang lain menolak. Dirinya yang lain memaki kencang tentang tugas seabrek yang harus ia selesaikan lebih dulu, tugas yang mengular tak ada habisnya. Tentang ini itu. Tentang ego yang sakit dan tak mampu sembuh.

Ia bimbang. Haruskah ia menyampaikan niatnya pada yang lain? Pada orang lain yang lebih waras otaknya.

Melihat sekeliling. Hanya ada dia seorang dalam balutan kemeja lusuh putih yang warnanya telah memudar, berdiri di depan cermin setinggi badannya, memandang dirinya sendiri.

Aku ingin pergi ke Kiruna. Menyerap denyut kehidupan disana. Menghirup sari-sari cahaya mentarinya yang tak padam. Aku harus ke Kiruna!

Maka, mantaplah hatinya. Kali ini, biar ia sendiri yang memutuskan. Bukan dirinya yang lain! Dia yakin, seribu seratus triliyun keyakinan memenuhi rongga dadanya. Menekan hati dan otaknya. Semuanya sudah setuju!

Lalu, diambilnya kotak kecil kayu yang terletak di samping bawah cermin itu. Dibukanya perlahan. Ia tersenyum bahagia.

Ia tau... tak lama lagi ia akan ke Kiruna! Ia akan menghirup dalam-dalam nafas penuh kebebasan. Ia akan membuat kenangan baru dan menghapus kenangan lama. Kiruna... ia akan datang padaku. Tunggulah sebentar lagi, Kiruna!


Aku melihat aku disana:
Ia menjejak di rerumputan. Tak hentinya menatap sang mentari. Melumat sinarnya, merasakan pelukan hangatnya yang selama ini ia dambakan. Lalu ia menari. Tarian persembahan untuk memulai kenangan baru. Merayakan hari tercapainya impian dan keinginannya. Berada di sebuah tempat mustahil hasil imajinasinya. Terpukau dan menggodanya. Ia terus menari dan menari...


Epilog:
Sorot mata tajamnya memecah keheningan, menatap separuh dirinya yang lain. Tergeletak diam di depannya, detik demi detik mulai membeku. Ia tak cukup kuat untuk menghadapi kotornya dunia. Diri yang lemah. Diri yang mirip dengannya teronggok membatu tak berdaya disana.

Tak seperti dirinya, ia disini terlihat lebih kokoh, lebih kuat dan siap menakhlukkan siapapun, menghadang apapun dengan kekuatannya. Terlindungi dengan aman di dalam cermin. Menatap rendah dan menyungging senyum angkuh, ia mengucapkan salam perpisahan dengan dirinya yang lain dari dalam cermin.

◇◇

Kiruna: Kota di ujung utara Lapland Swedia, dengan luas wilayah 16,53 km².

Tempat dimana matahari bersinar 24 jam pada akhir May hingga pertengahan Juli.

Di Kiruna, midnight sun terlihat selama 47 hari dan penduduk disana biasa menyebutnya dengan '100 hari tanpa malam' karena malam yang sangat cerah pada periode sebelum dan sesudah midnight sun.

Sebuah tempat yang bagai negeri dongeng. Tak nyata dan mempesona.

Source: www.northswedentourism.se/en/

About Me

Foto Saya
u3
opacarophile, librocubicularist
Lihat profil lengkapku